DSCF4343

Jikalau bicara soal kain tenun, Pulau Sumbawa adalah salah satu tempat di mana banyak kain tenun memikat dibuat. Ketika menjelajah Sumbawa menuju Tambora saya mempir ke salah satu titik di mana kain tenun dilestarikan, Kampung Manggeasi, Dompu. Kampung agraris ini ditempuh kurang lebih satu jam dengan berkendara, dikelilingi sawah dan ladang, Manggeasi seperti kampung-kampung lain di Dompu, sepi dan tenang.

Kampung Manggeasi oleh Pemerintah Kabupaten Dompu memang dikembangkan sebagai titik untuk melestarikan kain tenun Dompu. Saya bersua keluarga yang melestarikan kain tenun dari generasi ke generasi.

Penenun Manggeasi
Penenun Manggeasi

Di Kampung Manggeasi ini, tenun dibuat secara manual dengan alat tenun bukan mesin. Tahap demi tahap penenunan dibuat dengan hati-hati supaya menghasilkan tenun yang cantik dan halus. Dimulai dari pemilihan nggoli / benang, pewarnaan sampai pemintalan benang dan berakhir pada penenunan. Proses panjang untuk menghasilkan sebuah kain tenun yang harus benar-benar diawasi dengan seksama.

Ada beberapa kain tenun yang bisa dibuat oleh penenun-penenun dari Kampung Manggeasi, namun yang paling banyak dibuat adalah Tembe Bali. Kain ini adalah kain sarung dengan model kotak-kotak, warna-warnanya cerah dan tenunannya halus rapat. Tembe Bali biasanya digunakan untuk Rimpu bagi wanita Dompu atau Katente bagi kaum prianya.

Selain itu, ada juga jenis kain Tembe Sui. Berbeda dengan Tembe Bali yang digunakan sehari-hari, kain Tembe Sui lebih halus dan benang yang digunakan pun lebih bagus. Tembe Sui adalah semacam kain songket bagi masyarakat Dompu, biasanya digunakan untuk acara-acara formal atau upacara adat.

Proses Menenun
Proses Menenun Tembe Bali

Kain tenun Manggeasi rupanya memiliki kekhasan dalam warna. Kombinasi warnanya semerbak cerah. Kombinasi warnanya berani, katakanlah merah dengan kuning, biru dengan kuning atau bahkan ungu dengan merah. Mungkin memang setiap daerah memiliki kekhasan masing-masing dan tenun Manggeasi ini menjadi khas dengan warna-warna yang mencolok.

Selain warna, kain tenun dari Manggeasi rupanya juga terkenal dengan terobosan untuk mengembangkan motif-motif tenun tradisional. Tampaknya hal ini sebagai inovasi dan mengembangkan motif baru, di luar motif-motif yang sudah turun temurun. Saya ditunjukkan motif Sasambo, motif ini dikatakan adalah motif khas Nusa Tenggara Barat karena merupakan gabungan dari motif khas tiga suku besar di Nusa Tenggara Barat, yaitu Sasak (Lombok), Samawa (Sumbawa) dan Mbojo (Bima).

Proses menenun
Proses Menenun Tembe Bali

Selain motif populer tersebut, banyak juga motif tradisional yang sudah turun temurun. Biasanya motif-motif tradisional ini mengambil inspirasi dari unsur-unsur alam. Tenunan Manggeasi pun menyerap unsur-unsur alam sebagai motif yang ditoreh pada kain tenun. Ada motif Smado, motif yang mengambil inspirasi dari bunga melati. Motif bunga tak hanya ini saja, ada jua motif Bunga Liro yang dikatakan motif bunga matahari.

Dikatakan selain motif bunga-bunga tersebut ada juga motif pohon dan binatang. Sayangnya ketika di sana saya tidak melihat motif tersebut, para penenun pun tidak memiliki stok kain tenun bermotif pohon atau binatang dan juga sedang tidak membuat tenun dengan corak dua motif tadi.

Istimewanya adalah dari nggoli yang digunakan untuk kain tersebut dihasilkannya kain yang lembut dan halus. Tenun Manggeali memang terkenal kehalusannya, ketika dipakai-pun rasanya sejuk, tidak panas, mirip bahan katun. Itulah mengapa tenun Manggeali cocok dikenakan di Dompu yang katanya mataharinya ada sembilan itu.

Motif Tenun Manggeasi Dompu
Motif Tenun Manggeasi Dompu

Proses yang rumit tentunya menjadikan kain tenun Manggeasi berbeda dan bercitarasa tinggi. Sebuah kain bisa diproduksi selama berhari-hari, seperti contoh untuk sebuah Tembe Bali, perlu proses minimal tiga hari untuk menenun, itupun jika dikerjakan terus menerus, jika tidak maka prosesnya lebih lama. Untuk sebuah masterpiece, kain tenun hasil penenun-penenun dari Kampung Manggeasi bisa dikatakan salah satu yang terbaik di Dompu.

Hal positif dari Kampung Manggeasi adalah regenerasi para penenun yang terus berkelanjutan. Sejak kecil anak-anak Manggeasi sudah dikenalkan dengan tenun, sehingga kelak ketika beranjak remaja dan dewasa, mereka sudah bisa membuat kain tenun. Tak jarang ditemui di Kampung Manggeasi dalam satu rumah ada tiga generasi penenun, mulai dari cucu sampai neneknya, semuanya penenun. Kondisi yang demikian membuat tenun Manggeasi minimal bisa terjaga selama beberapa generasi ke depan. Keberlanjutan tenun inilah yang kelak akan menjadi warisan budaya yang tak ternilai harganya.

Soal harga mungkin relatif. Namun untuk ukuran kain tenun yang dibuat dengan tangan saya kira harga yang diberikan para penenun Manggeasi adalah pantas. Saya bisa saja menawar, tapi demi melihat tangan-tangan yang sudah mengguratkan motif-motif warna-warni nan indah maka tak tega rasanya. Kain tenun sudah selayaknya dihargai sebanding dengan kerja keras para penenun yang membuatnya.

Proses memintal Nggoli
Proses memintal Nggoli

Tenun dan Rimpu

Dalam kehidupan masyarakat Dompu, kain tenun ternyata dijadikan sebagai baju adat. Kaum perempuan di Kampung Manggeasi menunjukkan pada saya bagaimana sebuah Tembe Bali dijadikan Rimpu yang dikenakan oleh kaum perempuan.

Sederhananya Rimpu adalah hijabnya orang Dompu. Penggunaan Rimpu ditengarai bermulai dari abad ke-17 di era Kesultanan Bima dan menyebar ke Kesultanan Dompu. Dikatakan penggunaan Rimpu ini dipengaruhi oleh kedatangan saudagar-saudagar arab dan penyebaran agama Islam di Pulau Sumbawa.

Rimpu Mpida
Rimpu Mpida

Ada tiga dua jenis Rimpu yang biasanya dikenakan. Yang pertama adalah Rimpu Mpida atau tutup kepala bagi perempuan yang belum menikah. Rimpu Mpida ini akan menutupi seluruh wajah kecuali bagian mata saja. Kemudian bagi perempuan yang sudah menikah maka menggunakan Rimpu Colo, yang pada bagian wajahnya terbuka.

Penggunaan Rimpu ini sudah ratusan tahun dan menjadi pakaian khas perempuan Dompu. Istimewanya tidak ada penggunaan jarum atau peniti saat mengenakannya, semuanya dari ikat-mengikat kain saja. Ternyata jauh sebelum tren hijab menjadi populer, Rimpu sudah menjadi pakaian adat sekaligus kearifan lokal masyarakat Dompu.

Tabik

Tulisan ini adalah rangkaian tulisan #PesonaTambora, saya secara berseri akan menulis tentang alam Pulau Sumbawa. Didukung oleh Indonesia.Travel.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

6 KOMENTAR

  1. Bener banget ya, warna dan coraknya berani sekali. Kalau dalam sudut pandang saya, rangkaian perjalanan #PesonaTambora ini harapannya bisa menjadikan penggalian potensi lokal menjadi merata, tidak berat sebelah terpusat di Lombok saja yang sepertinya sudah jauh melesat dengan suku Sasak-nya. Pulau Sumbawa yang jauh lebih luas dan punya gunung yang pernah mengguncang dunia, sudah selayaknya kembali bangkit dan menjadi terdepan, tak akan tertinggal lagi dari “saudaranya” di Lombok 🙂

    • Komentarnya top banget mas! 🙂
      Betul seperti dikatakan, Sumbawa seharusnya pun bisa mengembangkan wilayahnya semaju Lombok atau bahkan melebihi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here