Sawah Kampung Nyalindung
Sawah Kampung Nyalindung

Nyalindung di pagi hari adalah gambaran tentang tatar Sunda yang sebenarnya. Ia kampung yang sunyi, sederhana, terkadang samar-samar desir angin, terkadang percik guyon burung-burung yang terbang bebas, terkadang lagi senyum orang-orangnya yang lebar sekali. Matahari menerobos nakal, sinarnya kuning keemasan, pun Nyalindung dianugerahi tanah yang subur makmur, ia berkelimpahan pohon nan hijau dan tanah yang gembur.

Penduduk Nyalindung pun tenteram, hidupnya bijak bestari. Segala hal disediakan alam, hasil bumi yang melimpah ruah, udara yang bersih, adalah orang-orang Kampung Nyalindung yang bersyukur dengan itu semua dan mengolahnya supaya menjadi berkah hidup bagi mereka.

Tapi tampaknya memang dalam hidup tak ada yang benar-benar sempurna, selalu ada satu-dua cela. Begitupun Nyalindung, dengan kedamaian dan subur tanahnya ada sesuatu yang mengganggu, sesuatu yang selama ini menjadi sedikit masalah bagi orang Nyalindung.

Berjuang Untuk Air

Sesungguhnya sebagaimana tipikal masyarakat Sunda, orang-orang Nyalindung adalah orang-orang yang menghormati air. Elemen air  bagi orang Sunda adalah salah satu elemen yang ditinggikan. Secara mudahnya kita bisa melihat bagaimana nama-nama tempat di tatar Sunda banyak yang dimulai dengan “Ci” sebagai ungkapan bahasa Sunda untuk air. Selain itu pada beberapa tempat di tanah Pasundan masih ada kearifan-kearifan lokal yang menjaga tata kelola air secara tradisional dan diteruskan turun temurun.

Lain daripada itu, orang-orang Sunda sebenarnya sejak dahulu memang sudah memiliki tata kelola air yang bagus. Sejarah mencatat, di abad ke – 4 Masehi, Maharaja Sri Purnawarman yang dahulu menguasai daerah Jawa Barat sudah membuat sistem tata kelola air, meliputi irigasi untuk persawahan dan pengelolaan banjir. Bisa dikatakan bahwa pengelolaan air di Kerajaan Tarumanegara ini sudah terhitung sangat modern di zamannya.

Menilik kisah-kisah dari leluhur orang-orang Sunda dan lestarinya kearifan lokal pengelolaan air di tatar Sunda masa sekarang, maka tak heran orang-orang Nyalindung pun turut berjuang untuk air. Mereka sadar, air seharusnya adalah sumber penghidupan maka tanpa menyerah mereka pun harus berjuang untuk mencari dan melindungi sumber penghidupannya.

Persawahan Nyalindung
Persawahan Nyalindung

Sesungguhnya Nyalindung memang melimpah air, tapi sayangnya bukan air bersih. Nyalindung dianugerahi air yang banyak, hanya saja kualitasnya memang di bawah rata-rata. Secara kasat mata airnya berwarna kuning, jika dipakai untuk mencuci niscaya baju putih langsung jadi coklat. Sebelas dua belas juga untuk air minum tidak layak, hasil tes di laboratorium indikator air bersihnya berada di bawah ambang batas. Pun demikian dengan soal sanitasi, orang-orang Nyalindung belum paham benar dengan sistem sanitasi air bersih. Hal ini memang sedikit ironis untuk sebuah daerah yang berkelimpahan air.

Maka pada tahun 2012 warga bermufakat, bagaimanapun caranya warga harus mendapatkan air yang layak, mereka saling sumbang pikir, tenaga dan segala sumber daya untuk mengusahakan air bersih.  Ini mengingatkan ketika berabad silam Maharaja Sri Purnawarman bersama-sama rakyatnya turut bersama membangun irigasi-irigasi di sepanjang daerah aliran sungai yang melalui kawasan Kerajaan Tarumanegara.

Sesungguhnya ada 263 keluarga yang membutuhkan air bersih di Nyalindung dan ini jumlah yang tidak sedikit. Persoalan ini menjadi pelik karena kondisi Nyalindung yang konturnya tidak rata, naik turun, sehingga untuk pengelolaan air akan menjadi sedikit rumit.

Syukurlah selalu ada jalan jika memang berkehendak. Ada setitik cahaya terang bagi Nyalindung ketika salah satu  produsen air minum dalam kemasan terbesar di Indonesia, Aqua kemudian turut menyokong usaha orang-orang Nyalindung untuk mendapatkan air bersih. Perusahaan membantu  untuk mendapatkan air bersih dan mendorong mereka untuk mengelola air secara mandiri sehingga manfaatnya akan kembali ke mereka lagi.

Keikhlasan Untuk Air Bersih

Melalui pematang-pematang sawah, jajaran padi yang sedang menghijau menghiasi Nyalindung. Warga Nyalindung memanglah warga yang agraris, mayoritas petani, sebagian lainnya berkebun atau beternak ayam. Di antara irisan pematang sawah yang bertingkat-tingkat terdapat sungai yang arusnya deras, gemericiknya kentara, tapi bisa ditebak warnanya, kuning dan keruh.

Mata Air dan Bak Penampungan Pertama
Mata Air dan Bak Penampungan Pertama

Untungnya tak jauh dari aliran sungai tersebut ditemukan sumber air bersih yang benar-benar melimpah. Lokasinya terdapat pada sebuah ceruk, batas tipis antara tebing dan sungai, konturnya sedikit miring dan sempit. Persoalan utamanya adalah lahan tersebut berada di lahan orang, hanya ada dua opsi menyewa atau membeli lahan tersebut.

Maka kemudian seluruh warga Nyalindung bermusyawarah dan berketatapan memilih opsi kedua, bagi mereka walaupun opsi ini mungkin akan besar di biaya tapi mereka bisa menjaga sumber air bersih ini. Pembiayaannya mereka masing-masing menyumbang dana seikhlasnya, dana tersebut kemudian digunakan untuk membeli lahan tempat sumber air bersih tersebut.

Jadilah sekarang sumber air untuk air bersih bisa dinikmati warga. Dan di lahan memanjang yang luasnya tak lebih dari 100 meter persegi ini terdapat bak pertama, bak yang menampung air bersih dari sumbernya. Dari sinilah air bersih yang akan mengalir ke seluruh Nyalindung bermula.

Mata air ini benar-benar berkah bagi warga Nyalindung karena sample air yang lantas diperiksa oleh Dinas Kesehatan dinyatakan layak minum dan kualitasnya bagu, debit airnya pun kencang, di musim kemarau tak pernah kekurangan air, pun di musim penghujan air melimpah ruah.

Mak Ipi (Berjilbab Coklat)
Mak Ipi (Berjilbab Coklat)

“Itu bak penampungan air kedua, diletakkan di samping rumah” Sosok sepuh itu dengan semangat menunjukkan bak air bersih yang ada di samping rumahnya.

Beliau adalah Mak Ipi, salah satu warga Nyalindung yang turut memperjuangkan air bersih. Di sisi rumahnya yang teduh terdapat sebuah bak penampungan air berkapasitas 40.000 liter. Pada bagian atas terdapat pompa air berkekuatan besar, pompa ini yang akan mendorong air bersih menuju bak penampungan ketiga yang berada di puncak bukit.

Ini adalah bak penampungan kedua, air bersih dari bak penampungan di mata air akan dialirkan menuju bak kedua. Dari bak pertama ke bak kedua menggunakan gravitasi karena posisi bak kedua berada di kontur yang lebih rendah daripada bak pertama.

Bak Penampungan Kedua
Bak Penampungan Kedua

“Ya, ini tanah saya, tidak apa-apa demi masyarakat”. Lanjut Mak Ipi.

Tanah ini memang sudah diwakafkan untuk penyediaan air bersih oleh Mak Ipi. Baginya selagi bermanfaat untuk orang banyak dia ikhlas. Keikhlasan yang sungguh luar biasa, keikhlasan yang kelak akan memberikan kehidupan yang lebih layak bagi warga Nyalindung. Bukan soal wakafnya yang luar biasa, tapi kerelaan dan kelapangan hati Mak Ipi untuk memperjuangkan hajat hidup orang banyak.

Bak Penampungan Ketiga
Bak Penampungan Ketiga

Hal unik justru ketika akan membangun bak ketiga, lokasi tempat bak ketiga memang sedikit tersembunyi. Menurut mitos lokasinya adalah lokasi dikeramatkan, terletak di titik tertinggi di Nyalindung. Akhirnya setelah bergelut dengan mitos, jadilah juga bak ketiga diletakkan di titik paling tinggi di Nyalindung. Bak ketiga yang berkapasitas 60.000 liter ini lantas menjadi bak pamungkas dan berfungsi untuk mendistribusikan air ke seluruh rumah-rumah di Nyalindung.

Pengelolaan Air Kolektif Dan Mandiri

Lantas bagaimana pengelolaan air di Nyalindung? Di sinilah kemudian peran dari Aqua, mereka menyediakan penyuluhan tentang tata kelola air sekaligus sanitasi yang baik bagi warga Nyalindung. Niscaya proses ini adalah proses yang panjang dan berkelanjutan, karena membangun sistem pengelolaan membutuhkan upaya lebih dibandingkan membangun sarana fisik. Ini terkait dengan pengelolaan dan pemeliharaan sarana, sehingga warga Nyalindung kelak tidak termakan idiom bisa membangun tapi tak kuasa memelihara.

Pengelolaan air ini berbasis masyarakat karena mau tak mau mereka-lah pemilik kepentingan. Maka segalanya dimulai dari masyarakat. Jadilah di sini warga Nyalindung diberikan pengertian bahwa pengelolaan air harus dilakukan secara mandiri.

Dalam konsepnya air yang dialirkan dari mata air sampai bak terakhir kemudian didistribusikan ke seluruh rumah warga. Proses pipanisasi harus mencakup seluruh Nyalindung sehingga setiap rumah terhubung dengan pipa air bersih.

Meteran Air Di Rumah Warga
Meteran Air Di Rumah Warga

Untuk mengatasi kecemburuan akibat pembagian air dipasanglah meteran air dan setiap warga diberi jatah penggunaan air setiap bulan. Sistem ini bukan untuk membatasi penggunaan air, akan tetapi untuk menegakkan prinsip keadilan dalam pembagian air.

Warga diberi kepercayaan untuk mengatur air, maka ditunjuklah petugas untuk mengatur pengelolaan air. Petugas ini yang menjaga dan mengelola bak penampung serta memastikan air mengalir dengan lancar sampai ke rumah-rumah.

Selesai sampai di sini? Tentu tidak. Proses berikutnya adalah penentuan tarif air. Apakah pengelolaan ini bersifat komersil? Ternyata bukan demikian, tarif ini bersifat kolektif karena diperlukan biaya untuk memelihara sarana pengelolaan air itu sendiri.

Pergulatan soal tarif air ini berlangsung lama. Ada kekagetan utama yang dialami oleh warga Nyalindung, mereka bertanya kenapa air harus ditarif? Kenapa harus membayar untuk sumber daya yang disediakan gratis? Awalnya semacam semacam ada resistensi dari warga tentang model tarif air yang akan diterapkan.

Maka kemudian dibangunlah kesadaran kolektif, bahwasanya air ini untuk warga, pengelolaan berbasis untuk warga dan manfaatnya akan kembali ke warga. Tarif yang bersifat kolektif manfaatnya juga akan kembali ke masyarakat, bukan digunakan untuk penghisapan atas nama sumber daya atau komersialisasi air atas nama segelintir pihak.

Setelah proses yang cukup panjang dan menentukan berbagai variabel seperti biaya listrik untuk pompa, upah petugas pencatat meteran dan pemelihara saluran air akhirnya tarif air pun disepakati. Warga Nyalindung kemudian sepakat bahwa tarif air ada di angka 10.000 rupiah per kubik, itulah angka yang disepakati warga.

Atas nama asas keadilan pula setiap warga dijatah satu bulan satu kubik air bersih, jika konsumsinya berlebih maka warga harus membayar 2.500 atas kelebihan konsumsi air itu. Kiranya tarif 10.000 rupiah memang sangat terjangkau untuk warga Nyalindung. Jadilah ini model pengelolaan air versi Nyalindung, berdasarkan asas kebersamaan, mempertimbangkan asas keadilan dan manfaat yang kembali ke warga. Sistem kolektif mandiri dan berkelanjutan, sistem yang sebenarnya mengadopsi warisan nilai-nilai kearifan lokal urang Sunda.

Tersenyum Karena Air Bersih

“Airnya segar mas, Nyuci baju putih tak takut jadi cokelat lagi..” Kelakar ibu-ibu yang ditemui di Nyalindung.

Atau yang lain berkata.

“Rasanya dimasak kog enak ya airnya? Kayanya langsung diminum pun bisa”

Begitulah sedikit rasa syukur dari warga Nyalindung. Ibu-ibu ini secara langsung yang merasakan kehidupan masyarakat sedikit lebih sedikit berubah karena air bersih. Mereka yang bergulat baju merasakan air yang tidak merusak baju yang dicuci, mereka yang berjibaku di dapur tak perlu takut-takut menghidangkan air. Memang benar bahwa pengelolaan air bersih memang mendatangkan senyum bagi warga Nyalindung. Tapi itu belum semuanya, itu baru satu dari beberapa.

Senyum Ibu-ibu Kampung Nyalindung
Senyum Ibu-ibu Kampung Nyalindung

Ada cerita manis yang lain tentang hasil dari iuran kolektif air setiap bulannya di Nyalindung. Dari hasil iuran air per rumah tangga tersebut rata-rata bisa menghasilkan hasil sekitar 2,5 juta rupiah per bulan. Sepertiga dari hasil tersebut untuk membayar listrik pompa air di bak kedua. Sebagian lagi untuk honor petugas yang bertanggung jawab untuk pengelolaan air tadi.

Sisanya? Benar-benar dikembalikan untuk kemaslahatan bersama warga Nyalindung. Uang iuran kolektif air tadi masuk ke kas kampung dan kemudian digunakan untuk bersama untuk warga kampung. Pernah hasil iuran air ini digunakan untuk pemeriksaan kesehatan gratis bagi warga kampung, pengembangan sarana belajar di kampung sampai untuk menyelenggarakan acara-acara warga.

Tapi apakah dengan demikian tugas sudah usai? Belum, ini adalah proses yang berkelanjutan. Warga seharusnya sudah sadar dengan keberadaan air bersih, maka mereka akan menjaganya, menjaga lingkungan tetap hijau dan melestarikan sumber air. Bukankah itu yang lebih utama? Bukan soal air bersihnya tapi soal ketersediaan air yang terus berkelanjutan.

Lantas kemudian tugas warga Nyalindung adalah melindungi air yang sudah tersedia ini, jika air adalah sumber kehidupan maka melindungi air adalah melindungi kehidupan. Dan itulah yang akan diperjuangkan di masa mendatang oleh warga Nyalindung, melindungi air untuk melindungi kehidupan mereka.

Sawah Nyalindung
Sawah Nyalindung

Nyalindung adalah kisah tentang warga yang berjuang untuk air bersih. Nyalindung sekarang adalah Nyalindung yang penuh senyum, Nyalindung yang benar-benar menghormati air tak hanya dalam tataran konsep tapi juga tataran aplikatif. Senyum orang-orang Nyalindung adalah senyum Nyalindung yang sesungguhnya.

Maka jika berkunjung ke Nyalindung sekarang, kita akan dijamu dengan tapak-tapak sawah yang menghampar hijau, dengan desau angin yang sejuk menerpa wajah, dengan petani-petani yang tersenyum lebar-lebar dan dengan gemericik air bersih yang mengalir ke rumah-rumah.

Tabik.

PS :
Postingan ini adalah reportase kegiatan “#DariKita untuk Indonesia Media & Blogger Visit” dalam rangka peninjauan kegiatan CSR Aqua ke Kampung Nyalindung, Desa Darmaga, Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

13 KOMENTAR

  1. Salut untuk perjuangan warga Nyalindung dalam memperoleh air bersih..
    jadi teringat bukunya Zaky Yamani tentang “kehausan di ladang air”
    Memang sudah seharusnya air menjadi hak asasi manusia yang benar-benar terealisasi, bukan hanya tertuang dalam butir-butir konsensus dunia

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here