DSC_1108
Zet Atakiri, Nayapraja Bea Cukai di perbatasan

Saya tak pernah bermimpi bisa ke Timor, pun tak pernah berdoa minta Tuhan bawa saya ke Timor. Tapi Tuhan memang Maha Baik, dia bawa saya ke Timor minggu lalu, maka saya ke Timor berpasrah diri, tak membawa harap apa-apa, saya tahu Tuhan pasti kasih tunjuk sesuatu yang menarik di Timor. Kata orang, perjalanan akan membawamu melihat hal baru dan saya yakin hal baru itu pasti ada di Timor.

Timor, negeri yang asing bagi saya dan untuk pertama kalinya saya akan menginjak negeri asing ini. Selama ini saya hanya dengar soal Sasando dan Izaak Huru Doko jika membicarakan Timor. Benar-benar asing, tapi saya selalu yakin bahwa sisi timur Indonesia memang indah, mungkin Tuhan memang memberikan lebih, lebih cantik, lebih molek, lebih biru langitnya, lebih ramah orang-orangnya.

Walaupun harus menempuh penerbangan dini hari, tapi sejak detik pertama tiba, saya sudah disambut binar mentari. Saya tiba di El Tari, Kupang saat mentari semburat dari balik bumi. Sambutan yang begitu manis dari Timor, matahari memang nyata terbit lebih dahulu dari timur.

Timor adalah kisah tentang negeri yang terbelah dua, kolonial Belanda dan Portugis-lah yang membelahnya. Perjanjian Lisabon pada 1859 membuat Timor dibelah garis tegas. Garis ini membuat Timor terpisah batas-batas negara, batas-batas pengaruh negara, walaupun sebenarnya mereka masih satu saudara satu pulau. Sisi barat, yang dulu diklaim milik Belanda, setelah merdeka lantas menjadi bagian dari Nusa Tenggara Timur. Sementara sisi Timur yang penuh pengaruh Portugis kelak penuh gejolak dan kini telah menjadi negara mandiri bernama Timor Leste.

Lupakan segregasi itu, di Timor saya akan berkunjung ke batas negeri. Batas-batas yang dahulu dibuat oleh kaum kolonial sekarang menjadi batas nyata antar negeri yang berbeda. Batas inilah yang menjadi sengketa sekaligus menjadi wajah bangsa. Sepanjang garis inilah harga diri seorang bangsa ditunjukkan habis-habisan.

Perjalanan Ke Batas Negeri, Wini

“Berapa jam perjalanan Ed?” Tanya saya ke Edward, kondektur bus AC Sinar Gemilang yang saya tumpangi. “Sekitar enam jam” jawab Edward sekenanya, Edward pemuda asli Soe ini sibuk menata barang-barang di dalam bis.

Tujuan pertama adalah Wini, sebuah titik batas negeri di bagian utara Pulau Timor. Dari Kupang saya harus melewati Soe lantas Kefamenanu lantas menanjak ke utara, melewati garis pegunungan dan tiba ke Wini yang masuk Kabupaten Timor Tengah Utara. Betapa jauh jarak yang harus saya tempuh, teman seorang perantau yang menetap di Kupang pun kelak ketika saya ceritakan, membelalak tak percaya saya kuat menempuh jarak sejauh ini.

Jika kita bisa soal timur, mau tak mau kita harus bicara soal infrastruktur seadanya. Begitulah timur, punya pemandangan indah luar biasa, tapi infrastruktur hanya diurus sekenanya. Sepanjang perjalanan menuju Wini, perut bergejolak karena ban belakang bis yang harus terus meloncat menerjang lubang. Untunglah pemandangan dari jendela bis benar-benar menyegarkan. Hutan-hutan yang masih hijau, tebing-tebing nan gagah dan jalanan yang berkelok bak ular di antara pepohonan besar.

DSC_1088
Kondisi jalan antara Soe – Kefamenanu

Untung bis ini berhenti beberapa kali, pertama di Soe, saya sempatkan menyicip buah-buahan asli Soe yang katanya paling sedap se – Timor, kedua di Kefamenanu untuk makan siang. Saat tiba di Kefamenanu yang berarti sudah lebih dari enam jam perjalanan itu saja katanya baru lewat setengah jalan. Mendadak saya ingat kata Edward tadi pagi, enam jam versi Edward ternyata bukan enam jam dalam artian sesungguhnya. Enam jam versi Edward adalah kata lain perjalanan ini akan lama sekali.

Bis mengerang kepayahan ketika mengiris jalanan berkelak-kelok di sisi tebing selepas dari Kefamenanu menuju Wini. Sesekali Edward berteriak memberi aba-aba pada sopir untuk goyang kanan-kiri, maksudnya menghindari jalan yang berlubang. Semakin menuju Wini jalanan semakin berat, aspal sudah lalu, disambut jalan tanah dan batu.

Jelang pukul empat sore saya tiba di Wini, lepas gunung saya bertemu laut. Ini adalah titik batas negeri pertama di Timor yang saya kunjungi, lokasinya di pesisir utara, ujung sekali. Di Wini, jika kita menghadap ke arah laut lepas, lantas menoleh ke kanan maka kita akan melihat Indonesia, lalu kita alihkan pandangan ke kiri, maka kita bisa melihat bentang tebing pinggir pantai Bumi Timor Lorosae.

Sore itu Wini tenang sekali, semilir angin menghembus dari pantai. Birunya nyata sekali, rasanya tenang dan damai. Daerah perbatasan ini diberkahi nuansa yang tenang, penduduk yang tersenyum pada siapapun yang melintas. Sampai babi gemuk yang berjalan santai di tepian pantai. Damai sekali.

Titik perbatasan ini memisahkan antara Distrik Oekusi dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Garis batasnya sungai yang sedang kering karena kemarau. Di seberang sana terlihat tonggak Timor Leste, besar sekali dengan bangunan yang baru dan megah. Sementara di sisi Indonesia kontras sekali. Bangunannya kecil-kecil, sebagian nampak tak berpenghuni, sebagian rusak, sebagian lagi tak bisa disebut bangunan.

DSC_1121
Pos Bantu Bea Cukai Wini, di bawah yuridiksi kantor Bea Cukai Atapupu
DSC_1149
Komples Perbatasan Timor Leste, Distrik Oekusi

Satu kilo dari perbatasan saya berjumpa kantor pos bantu Bea Cukai Wini. Bangunannya kecil saja, tak lebih dari rumah subsidi tipe 36, halaman belakangnya sudah pantai. Saya berjumpa dengan Zet Atakiri, petugas Bea Cukai dengan tampang khas orang timur. Raut mukanya tegas, kulitnya legam, tapi senyumnya lebar sekali. Ia menyambut saya dengan jabat tangan yang erat, lantas kami berbincang akrab di pinggir pantai.

Zet saya menyebutnya, asalnya dari Alor. “indah pak ya disini?” kata saya membuka percakapan. Zet hanya tersenyum lalu berseloroh, “iya indah memang, tapi jalur ke sini amboi beratnya”.

Memang demikian adanya, betul kata Zet daerah perbatasan identik dengan jalan yang susah dijangkau. Sembari memandang laut lepas, Zet melanjutkan. “Sepi di sini dek, sehari juga belum tentu ada yang lewat.” Lintas batas Wini – Oekusi memang perbatasan Indonesia – Timor Leste yang sepi sekali, jarang ada yang lewat, letaknya di ujung pula.

Namun begitu, bukan berarti Zet bisa bersantai setiap hari, pegawai golongan dua ini sehari-harinya melaksanakan fungsi border control untuk para pelintas batas. “Di sini mobil Timor Leste biasanya transit, dari Dilli ke area enclave, Oekusi dan sekitarnya. Tugas kami mengawasi mereka yang melintas itu.”

“Yang berat itu medannya dik, dari Atapupu ke sini dua jam kalau lancar. Kalau jalan rusak atau habis hujan? Habis sudah.” Pos bantu ini memang di bawah yuridksi Kantor Bea Cukai Atapupu sekian puluh kilometer dari Wini, juga sama di pesisir utara Timor.

Diam-diam saya mengutuk betapa perbedaan ini timpang sekali. Perbedaan ini terlihat jelas ketika saya diantar Zet melintas batas negeri, ke seberang sungai yang kering, ke area Timor Leste. Perbatasan tampak lengang dan tidak menegangkan, kenyataan bahwa dahulu pernah terjadi konflik berdarah-darah tidak terasa. Kompleks perbatasan di Timor Leste megah sekali. Ruangan dengan pendingin udara, fasilitas yang lengkap, tonggak perbatasan yang tegak ke atas dan pegawai-pegawai perbatasan yang jumlahnya cukup banyak. Saya kembali ke area Indonesia dengan sedikit muram.

DSC_1104
Pantai di belakang Pos Bantu Bea Cukai Wini
DSC_1153
Bukit-bukit di perbatasan Wini

Kemuraman saya karena ini, Timor Leste menghargai perbatasannya layaknya halaman rumah yang harus selalu bersih. Saya rasa memang seharusnya begitu, perbatasan adalah wajah sebuah negara. Wajah yang harus dijaga tetap menawan. Sisi Indonesia sebaliknya, perbatasan dibiarkan usang tanpa perawatan, negara ini besar, kaya tapi miskin perhatian di perbatasan. Ironis sekali, di balik gembar-gembor kredo pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pembangunan di kota besar, daerah perbatasan meringkuk dalam-dalam, tak dilirik.

Saya mengikuti langkah Zet yang cepat. Matahari sudah bersiap surut, nuansa jingga mulai merayap di bukit-bukit di belakang pesisir Wini. Zet kembali ke pos bantu, dia akan menempuh malam hari ini dengan penuh kesepian. Di Wini biasanya hanya ada dua petugas yang berjaga, dengan fasilitas yang super minim, bahkan harus bawa beras untuk bekal sendiri, tak ada warung makan di Wini, yang ada hanyalah suasana yang sepi dari hari ke hari, dari malam ke malam.

Zet yang sudah sejak 1980 berdinas di Bea Cukai mengatakan ini lika-liku hidup. Dia beberapa tahun lagi pensiun, tapi matanya masih menyala-nyala semangat. Korsa Bea Cukai telah membuat dirinya menjadi seseorang yang tangguh dan tahan banting. Walaupun keluarganya jauh di Kupang sana, jika memang tugas negara sudah memanggil dan dia harus berjaga di Wini, ya itulah pengabdiannya. Tidak ada kompromi lagi. Zet akan menempuh jalan itu, walau harus berkawan dengan kesunyian dan keterpencilan.

Potret perbatasan yang a la kadarnya ini harus diubah. Beban berat Zet harus dibagi, dikurangi. Saya rasa dengan tanggung jawab sebagai pengawas perbatasan dengan ancaman resiko yang besar seperti kasus penyelundupan, dua orang pegawai di perbatasan adalah hal yang keterlaluan. Bagaimana hendak menegakkan muka di perbatasan jika kekuatannya justru dikebiri pemerintah sendiri? Ini potret pertama yang saya rekam di perbatasan. Potret tentang bagaimana negeri ini begitu pongah dalam propaganda, tapi abai dengan perbatasan sendiri.

Saya berpamit kepada Zet untuk kembali ke Atambua, menyisir jalanan tepi pantai utara Timor. Sejenak saya berhenti, rupanya matahari sedang tenggelam di tepian Tanjung Bastian. Saya menikmatinya, mentari turun selalu indah dipandang, selalu syahdu untuk dinikmati. Dengan penuh khidmat saya menikmati mentari yang turun, sembari memanjatkan doa, semoga Zet senantiasa diberi kesehatan saat bertugas menjaga perbatasan, semoga tugasnya dalam sepi adalah sebaik-baiknya pengabdian.

Selanjutnya sepanjang jalan pulang, saya diam dalam geram.

DSC_1161
Senja Tanjung Bastian

Realitas Garis Batas

Semalam di Atambua, pagi – pagi buta saya harus merayapi jalanan Pulau Timor lagi. Atambua dijuluki kota perbatasan, memang ini kota paling timur. Konon 1999 lalu, Atambua sibuk dan mencekam, pasca referendum arus pengungsi banyak sekali. Selain itu kondisi di perbatasan sangat-sangat tidak kondusif. Pembakaran di mana-mana, mayat di mana-mana.

Kini Atambua menjadi kota yang tenang, jalanannya halus, rumah bagus-bagus, pembangunan jalan terus. Kota ini berkembang, titik-titik ekonomi maju pesat. Arus barang yang hendak keluar – masuk Timor Leste pasti berhenti di sini. Tak heran di Atambua kita bisa menemukan produk-produk luar negeri. Bahkan bir paling populer di Atambua konon adalah bir dari Australia. Atambua sekarang adalah kota yang cukup makmur.

Namun ada yang mengusik di Atambua, antrian BBM selalu terjadi di pom bensin seantero Atambua. Bahkan pom bensin sering sudah kehabisan bensin sebelum jam makan siang, semua berebut bensin. Keanehan ini terjawab, BBM adalah komoditi seksi di perbatasan. Masalah pertama, BBM dari Indonesia akan dibawa ke Timor Leste, dengan banyak cara. Masalah kedua, penimbunan BBM sudah mencapai tingkat akut. Di Atambua, tanpa tedeng aling-aling banyak motor dengan tangki yang sudah diberi viagra, ukurannya membesar dua kali lipatnya antri dengan santai begitu saja di pom bensin.

Sebuah pemandangan yang bertolak belakang. Satu sisi kita akan melihat antrian BBM, tapi sisi lain penimbunan dan penyelundupan BBM jalan terus. Di Timor Leste harga BBM memang lebih tinggi daripada di Atambua, itu sebab utamanya banyak BBM Indonesia yang bermigrasi ke Timor Leste. Penyelundup bak tikus tanah, mereka cerdik dan tahu celah untuk menerobos batas membawa BBM ke negeri seberang.

Arus jual beli di perbatasan timpang sebelah. Bagaimanapun Timor Leste masih sangat-sangat bergantung dengan Indonesia. Segala macam kebutuhan pokok didatangkan dari Indonesia, ketergantungan ini terasa sekali ketika melihat grafik skala ekspor-impor antara Indonesia dan Timor Leste. Jika orang-orang Timor Leste memasukkan barang apa saja yang dibutuhkan dari Indonesia, orang-orang Indonesia hanya mengimpor sedikit sekali, kopra, kopi dan kemiri. Nilainya tidak signifikan dibandingkan apa yang orang Timor Leste bawa dari Indonesia.

Masalah berikutnya adalah akses di daerah perbatasan. Jalan bagus hanya di Atambua sampai Atapupu. Selain itu harap bersabar, jalan bagus tidak menular ke area perbatasan. Saya bicara dengan seorang warga lokal tentang bagusnya jalan di Atambua, katanya jalan bagus ini baru ada ketika presiden datang beberapa tahun silam, sebelumnya jalan ini macam kubangan.

Bagaimana hendak mengejar ketertinggalan jika infrastruktur pendukung tak pernah dipikirkan matang-matang. Mau sampai kapanpun, tanpa perubahan, daerah perbatasan hanya akan serupa daerah tak bertuan.

Sedikit di utara Atambua ada pemukiman para pengungsi dari Timor Leste yang memilih bersama Indonesia pasca referendum 1999. Kondisinya miris, mereka pilih republik, tapi entah rasa-rasanya mereka justru ditinggalkan republik. Mereka berladang seadanya di pinggir hutan, rumah pun dari kayu, reyot.

Beberapa benar-benar jatuh dalam ketidakberdayaan. Dalam sebuah percakapan saya mendengar selentingan kabar. Dulu ada tokoh pro Indonesia yang begitu vokal, memiliki banyak anak buah, tapi sekarang tak lebih dari seorang tua pencari kayu bakar demi menyambung hidup. Menyedihkan memang.

Realita di Atambua ini menyadarkan saya, bahwa ada orang-orang yang berharap banyak pada republik, berjuang untuk republik. Tapi ketika semua sudah lewat, Jakarta memilih untuk menyembunyikan tangan. Mungkin hanya mengintip sebentar, lantas tidak memberi perhatian. Mungkin karena mereka jauh, di Timor sana.

Melintas Garis Batas Selatan

Dari Atambua saya menuju Metamauk, batas paling selatan antara Indonesia dan Timor Leste di Pulau Timor. Bis kembali menggerayangi jalanan penuh batu. Saya tak mau termakan dengan bertanya jarak pada orang lokal, bisa jadi jawabannya normatif seperti jawaban Edward kemarin, jawaban untuk menerangkan bahwa jarak yang ditempuh sangat jauh dan butuh waktu lama.

Untuk menuju Metamauk saya harus melewati Betun, ibukota dari kabupaten yang baru saja lahir, Melaka, Kabupaten baru hasil pemekaran di Pulau Timor. Sebenarnya ada dua rute menuju Metamauk, namun malang karena malam sebelumnya hujan, jalur utama menuju Betun putus total. Jadilah saya harus memutar, melewati punggungan bukit yang jaraknya lebih jauh, sampai Metamauk kelak saya harus menempuh sekitar delapan puluh kilometer.

Jalanan lebih parah dari kemarin, saya boleh bilang ini sungai kering, mengerikan. Jalan bagus hanya sampai Desa Kapitan Meo, sekitar satu jam perjalanan dari Atambua. Sisanya sampai Metamauk adalah jalanan yang bisa membuat tulang punggung remuk. Terkadang bis harus menggerayangi jalanan dengan begitu pelan, lajunya tak bisa kencang. Padahal bis-bis di Timor sudah didesain untuk jalan rusak, sumbu rodanya tinggi agar tidak membentur batuan di jalan. Tapi tetap saja sopir harus susah payah banting setir ke kanan kiri, kondektur tak kalah ribut, dia sewaktu-waktu harus turun memberi aba-aba sopir atau mengganjal bis dengan batu agar tidak melorot saat melahap tanjakan.

IMG_6893
Jalanan menuju Metamauk
IMG_6862
Jalanan menuju Metamauk

Daerah yang saya lewati adalah Timor yang sesungguhnya. Saya menembus desa-desa yang mungkin jarang sekali dikunjungi wisatawan. Lopo, rumah tradisional Timor yang bentuk atapnya runcing dan terbuat dari rumbia bertebaran sepanjang jalan. Sapi-sapi yang menjadi hewan ternak utama di Timor dibiarkan begitu saja, bebas berkeliaran.

Orang-orang desa di Timor adalah orang-orang yang diberkati Tuhan. Mereka sangat-sangat sopan, penghormatan terhadap tamu tinggi sekali. Mereka akan tersenyum lebar-lebar jika ada orang asing datang, tidak ada rasa curiga, semua dianggap saudara. Semburat merah di gigi, karena sirih pinang adalah hal umum di Timor, terutama bagi kaum wanita. Saya merasa seluruh orang Timor adalah orang-orang yang begitu terhormat, mereka orang-orang yang beragama dengan begitu taat, menjunjung tinggi adat dan hidup sesuai norma yang sudah tetap.

IMG_6871
Lopo di Desa Kapitan Meo

Perjalanan ke Metamauk tuntas dalam empat jam. Untung dari Betun sampai perbatasan jalanan sudah aspal mulus. Pos Metamauk berbatasan langsung dengan daerah Salele distrik Covalima, Timor Leste. Di perbatasan ini sebenarnya nama daerahnya mirip, bedanya di Indonesia namanya sudah dibahasa-indonesiakan, Kobalima, sementara di Timor Leste tetap bernama Covalima.

Perbatasan ini berada di ujung selatan, diapit gunung, perbatasan hanya dipisahkan sungai kecil. Terik mentari menyerang perbatasan yang begitu sepi. Di sisi Indonesia hanya ada TNI yang berjaga-jaga, petugas bea cukai dan dua orang petugas Imigrasi.

Kondisi perbatasan di Metamauk sungguh mengenaskan, jembatan penghubung rubuh karena banjir. Bangunan perbatasan yang baru dibangun dan jadi masterplan bangunan di perbatasan darat Indonesia – Timor Leste sudah rusak ambruk, padahal baru tuntas pembangaunannya beberapa bulan silam. Hanya pos TNI yang tampak layak, kantor karantina tampak tak berpenghuni, di seberangnya kantor Bea Cukai serupa pos ronda, lebih mengenaskan lagi kantor Imigrasi, bangunannya dari kayu.

DSC_1202
Jembatan Ambruk di Metamauk, tampak belakang Pos Perbatsan Timor Leste, Salele

Saya berjumpa Johannes, petugas Bea Cukai asli Kobalima. Rumahnya beberapa kilometer sebelum pos perbatasan. Sehari-hari dia berjaga di Pos Bantu Bea Cukai Metamauk. Beruntung Johannes rumahnya di dekat pos bantu, jaraknya saja empat jam perjalanan dari Atambua. Bayangkan rekan-rekannya yang rumahnya jauh, susah payah jika hendak berangkat tugas di Metamauk.

Pos Bantu Bea Cukai jujur saja minim fasilitas. Di Metamauk tak ada sinyal telekomunikasi, hanya ada satu operator yang terkoneksi, itupun sinyalnya lemah sekali, sekali nyala, lebih banyak mati. Sudah begitu di kantor tidak ada telepon, bagaimana hendak berkoordinasi atau menghubungi jika ada kesulitan? Sungguh ini benar-benar yang namanya mengabdi dalam keterasingan.

Joan panggilan Johannes menuturkan, perbatasan ini jarang dilewati orang. “Ah, paling beberapa” begitu katanya. “Kebanyakan truk proyek, atau kunjungan keluarga saja, jarang aktivitas ekspor impor.” . Timor Leste memang sedang membangun bandara baru, maka truk-truk proyek sering lewat Metamauk, kontraktornya dari perusahaan plat merah di bidang konstruksi. Tak hanya bandara, mereka juga membangun infrastruktur berupa jalan raya dari perbatasan Indonesia sampai Covalima.

Belum ada kegiatan bisnis yang signifikan di lintas batas Metamauk ini. “Paling cuma jual beli sembako atau ternak, kadang-kadang bahan bangunan.”. Pelintas batas pun sedikit, aktifitas perdagangan pun sama, minim. Rata-rata hasil bumi dan sembako. Petugas Bea Cukai pun memberikan sedikit kelonggaran, mengingat saudara-saudara di Timor Leste, dari Salele sampai Suai sangat bergantung dengan bahan kebutuhan pokok dari Indonesia.

Joan menambahkan, petugas harus memperhatikan sisi kemanusiaan saat melakukan pengawasan mengingat Timor Leste masih sangat-sangat bergantung dengan barang-barang dari Indonesia. Menurut Joan, Pos Bantu Metamauk mengeluarkan Kartu Identitas Lintas Batas, dengan kartu itu para pelintas batas bebas membawa barang kebutuhan pokok paling bayak lima puluh dolar dan lima binatang ternak berkaki empat.

Pria Timor berperawakan kecil ini mengantar saya ke perbatasan, melewati jembatan rubuh. Mengikuti Joan, saya diajak bertemu dengan petugas Bea Cukai Timor Leste. Joan menjelaskan, Bea Cukai di Timor Leste disebut dengan istilah Alfandega. Sama seperti di Indonesia, Diresaun Nasional Alfandegas atau Bea Cukai Timor Leste secara struktur organisasi berada di bawah Kementerian Keuangan atau Ministerio Das Financas Timor Leste.

Bersama Joan, saya diantar oleh dua orang petugas Alfandega berkeliling gedung perbatasan Timor Leste. Sangat-sangat berbeda jauh dengan Indonesia, fasilitas Alfandega Timor Leste sangat lengkap. Saya melihat ada hand carry x-ray untuk mendeteksi barang bawaan pelintas batas, bahkan alur pemeriksaan pun sangat lengkap.

DSC_1185
Bangunan tak terpakai di Metamauk

Di bagian belakang terdapat bangunan bertingkap tinggi, kelak akan dipasang Gamma Ray Detector untuk truk kontainer yang melintas. Di bagian belakang terdapat mess Alfandega, bisa difungsikan untuk sepuluh pegawai. Sangat lengkap dan memanusiakan petugas perbatasan.

Kembali ke sisi Indonesia, saya mendengarkan Joan. “Kalo pegawai bertugas di sini, kadang menginap di rumah saya selama sebulan, kadang kos sendiri. Seharusnya dibuatkan mess seperti pegawai Alfandega di sebelah, biar kami tak usah susah-susah.” Joan bercerita, pengawasan Bea Cukai di Metamauk memang belum maksimal, keterbatasan saranalah penyebabnya. Saya mengiyakan, seharusnya harus ada perbaikan, sesegera mungkin, dari dua titik perbatasan saya melihat begitu kontrasnya perhatian pemerintah. Satu sisi negara sebelah begitu mewah, sisi negeri sendiri sangat mengenaskan.

Saya berpamit pada Joan untuk melanjutkan perjalanan. Joan membekali saya jus buah kalengan, minuman dari Australia yang jamak ditemui di perbatasan. “Kapan lagi to minum minuman Australia kalau tidak di sini?” Ucapnya sambil menjabat tangan tanda perpisahan.

IMG_6863
Isi Angin sebelum menghajar lubang

Meraba Sisi Utara

Selesai urusan di selatan, saya menuju ke utara, Motaain. Ini adalah titik perbatasan paling ramai dan rawan, di sinilah pintu utama bagi pelintas batas Indonesia – Timor Leste. Maklum saja akses jalan di Motaain dari Atambua langsung menuju Dilli, ibukota Timor Leste. Kompleks perbatasan ini konon yang paling besar juga, maka hampir seluruh instrumen penjaga perbatasan di Motaain lebih banyak dibandingkan titik perbatasan darat yang lain.

Bis yang saya tumpangi melaju ke utara. Dari Metamauk ke Motaain sekitar seratus kilometer, berangkat dari Metamauk saat matahari pas di tengah, saya duga akan sampai Motaain menjelang senja. Saya sadar, setelah di hari pertama Edward memberikan analogi soal waktu tempuh, saya tak bisa menuntut apa-apa menjadi lebih cepat.

Laju lambat bis akhirnya semakin cepat selepas Atambua, jalanan mulus sampai Atapupu dan Motaain. Tepat seperti dugaan saya, jam empat sore saya baru tiba di Motaain, langit sudah menguning, matahari sudah siap-siap mengambil selimut. Jika di Motaain jam empat, di seberang, sudah jam lima. Walau hanya terpisah sungai, Timor Leste mengatur waktunya satu jam lebih cepat.

DSC_1221
Portal perbatasan Motaain sisi Indonesia

Motaain sepi, sore-sore begini biasanya sudah tidak ada kegiatan, petugas perbatasan sudah santai. Saya bertemu Isnin Muhammad, pria asli Flores yang sehari-hari bertugas di Pos Bantu Bea Cukai Motaain. Dibanding dengan dua pos sebelumnya, pos Motaain lebih manusiawi, fasilitasnya lengkap dan bangunannya representatif.

“Sudah sepi mas, sebentar lagi pulang” kata Isnin, “Sebelah (Timor Leste red) malah sudah pulang” lanjutnya. Saya duduk menemani Isnin di beranda kantor, sembari menikmati minuman dingin yang disuguhkan Isnin.

Perbatasan Motaain selain sebagai garis lintas batas juga simpul ekonomi penting. Di Motaain ada bank, kios-kios besar, arus barang tinggi sekali disini, begitupun arus pelintas batas. Isnin harus membuka mata lebar-lebar untuk melakukan pengawasan.

Membuka-buka buku register di meja kantor, Isnin menunjukkan data pelintas batas yang lewat setiap harinya. “Kalau di rata-rata ada sepuluhan mobil setiap harinya”, dibandingkan perlintasan yang lain, rasio ini tinggi sekali, Isnin melanjutkan. Selain kendaraan pribadi dan truk barang, ada travel yang melayani rute Kupang – Dilli yang setiap hari melintas.

“Tahun kemarin ada tangkapan besar, bandar narkoba, tapi tahun ini belum, masih aman-aman saja”. Segala pengecekan penumpang manual, ini berarti petugas bea hanya mengandalkan indera, insting dan pengalaman untuk mendeteksi penumpang.

DSC_1232
Portal perbatasan Motaain sisi Timor Leste

“Mari ke sebelah”. Saya mengikuti Isnin yang melintas menuju perbatasan Timor Leste. Bagi petugas perbatasan, saling melintas itu sudah biasa. Mereka berkawan baik, bahkan beberapa diantara mereka pernah satu kantor, pasca referendum, petugas Bea Cukai Indonesia yang asli Timor Leste kemudian kembali ke tanah air mereka dan menjadi petugas Alfandega Timor Leste.

“Lihat mas, Alfandega bahkan memiliki Gamma Ray di Motaain”. Isnin menunjukkan alat detektor yang dipasang untuk memindai kontainer yang akan melintas. Sementara di Indonesia, Gamma Ray hanya ada di Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Dengan dukungan detektor ini, Timor Leste tampak lebih siap menjaga perbatasan dibandingkan dengan Indonesia.

Ini baru soal alat, soal Sumber Daya Manusia lain lagi. Saya mencatat setiap portal perbatasan di Timor Leste digawangi oleh sepuluh sampai dua belas petugas Alfandega. Sementara di sisi Indonesia paling banyak hanya empat, itu di Motaain. Pos Bantu lain seperti Wini dan Metamauk yang saya kunjungi paling banter hanya ada dua pegawai setiap harinya.

Entahlah, tampaknya pemerintah harus didorong agar lebih memperhatikan daerah perbatasan. Saya kira ini bukan hanya soal penjagaan ketat, tapi soal bagaimana memanusiakan petugas perbatasan dengan demikian mereka bisa bertugas dengan lebih maksimal. Kami berdua akhirnya kembali ke Pos Bantu Motaain bersamaan dengan matahari yang surut.

Saya berhenti sebentar menikmati matahari tenggelam di Timor Leste. Ada banyak pikiran yang mengganggu saya setelah percakapan tadi dengan Isnin.

Menjaga Batas Negeri

Perjalanan tiga hari ke Timor dan garis batas negeri membuat benak saya berkecamuk. Zet, Joan dan Isnin adalah bukti pengabdian yang begitu tinggi walau diterjang berbagai keterbatasan. Mereka-mereka adalah nayapraja dengan totalitas yang luar biasa. Terkadang harus berjauhan dengan keluarga, medan yang berat dan resiko yang tidak main-main.

Perbatasan sebenarnya dikelola oleh sebuah badan, Badan Nasional Pengelola Perbatasan yang mengkoordinasikan lembaga-lembaga yang berwenang atas kepentingan perbatasan. Seharusnya lembaga ini bisa mendorong sinergi yang lebih baik untuk memperbaiki kondisi di pos-pos perbatasan.

Sesuai aturan, seharusnya penjaga perbatasan Imigrasi, Bea Cukai, Karantina dan Keamanan berada dalam satu kompleks yang terpadu. Sementara di Indonesia semua masih tercerai berai, bahkan di Wini, kantor Bea Cukai letaknya satu kilometer dari perbatasan, jauh sekali.

Zet, Joan dan Isnin bagaimanapun sudah maksimal dalam bertugas. Kita tak bisa menuntut apa apa dari mereka, dedikasi mereka sudah luar biasa. Dengan segala keterbatasan mereka tetap berusaha maksimal. Maka yang harus dorong adalah pemerintah agar bisa memberikan infrastruktur yang lebih layak dan manusiawi. Soal Sumber Daya Manusia sebenarnya pihak Bea Cukai sudah meminta tambahan pegawai, tapi alur yang rumit membuat proses penambahan pegawai ini sangat lambat.

DSC_1222
Penanda Tapal Batas
DSC_1128
Penanda Perbatasan Timor Leste

Pun dengan usulan perombakan area perbatasan, Bea Cukai sudah mengusulkan konsep terpadu, sehingga arus pelintas batas bisa menjadi satu pintu. Tapi lagi-lagi proses yang lambat membuat hal itu belum terealisasi.

Lagipula area perbatasan di Motaain sebenarnya salah kaprah. Menurut aturan internasional, sepanjang 500 meter dari garis batas, adalah area bebas, tak ada bangunan ataupun aktivitas perbatasan. Tapi di Indonesia aturan ini tidak dihiraukan, kompleks perbatasan langsung bangunan, tidak ada jarak bebas 500 meter dari garis batas.

Soal wajah perbatasan negara, Indonesia saya bilang terlambat berbenah. Perbaikan-perbaikan harus segera dilakukan. Ini penting agar petugas-petugas Bea Cukai seperti Zet, Joan dan Isnin bisa makin maksimal menjalankan tugasnya. Bukankah urgensi Bea Cukai sebagai border control akan lebih maksimal.

Saya membayangkan perbatasan kita gagah, petugas-petugas Bea Cukai seperti Zet, Joan dan Isnin tampak berwibawa dengan seragamnya apalagi didukung dengan anjing-anjing K9 ataupun senjata api untuk memaksimalkan tugasnya. Memiliki kantor yang representatif dan dukungan komunikasi agar koordinasi antar kantor berjalan lancar dan responsif.

Kolega Isnin di Motaain sempat bergabung sebentar dalam percakapan kami, “Kami bisa lebih maksimal lagi dalam bertugas, asal diberi fasilitas yang lebih baik lagi. Perbatasan bukan soal main-main, ini adalah masalah yang rawan” . Saya sungguh berat membayangkan bagaimana para penjaga petugas perbatasan mengabdi dengan fasilitas a la kadarnya.

Tiga hari di batas negeri membuat saya sadar, saya bertemu orang-orang hebat dengan dedikasinya menjaga negeri. Di sisi lain, saya merasa tercerahkan, betapa perhatian di perbatasan minim sekali. Betapa tertinggalnya Indonesia dengan negara sebelah. Ada banyak perbaikan yang bisa dilakukan demi menunjang tugas Bea Cukai dan harus didorong pemangku kepentingan yang lebih tinggi, ini baru sisi darat, belum sisi patroli laut yang juga sarana pendukungnya sangat terbatas.

Tapi bagaimanapun perbatasan juga adalah wajah negara, batas negeri adalah garis yang harus dijaga dengan penuh harga diri. Jika Timor Leste yang kecil saja memulas dengan rapi perbatasannya. Bagaimana dengan Indonesia? masa iya kita biarkan wajah perbatasan yang penuh bopeng dan jerawat yang ditampakkan? Bukankah lebih enak jika wajah cantik dan rupawan yang ditampilkan pertama? Iya kan?

Tabik / Obrigado

1. Catatan ini berdasarkan 3 hari perjalanan Press Tour bersama Direktorat Bea Dan Bea Cukai. Selama 3 hari GPS di smartphone saya mencatat saya sudah menempuh jarak sejauh 809 kilometer. Rute saya ada di gambar di bawah ini :

Presentation1
Rute Hari Pertama
Slide2
Rute Hari Kedua

 2. Izaak Huru Doko adalah pahlawan nasional dari Timor, bersama Herman Johannes dari Flores ia mendirikan Timorsche Jongeren, Pergerakan Pemuda Timor untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.

3. Maafkan saya karena tidak ada foto Atambua, musababnya saya terlalu lelah karena perjalanan maraton ini.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

43 KOMENTAR

  1. Membaca postingan ini, jadi keinget perjalanan dari Atambua ke Mota’Ain dan dari Kefamenanu ke Wini. Dan ga kebayang, gimana riwehnya dari Kefa menuju Wini naik bus. Dulu pas naik motor kesana, kami sepet kesusahan milih2 bagian jalan yg aman di lewati, apalagi ada satu ruas jalan (lupa di desa mana) yg cukup sempit dan kondisinya berlubang.

    Dan, perbatasan RI di Timor Leste (khususnya yg ada di pantura) memang keren2 ya pantainya ^_^

  2. rasanya nelongso mas baca tentang jalan yang rusak :(. padahal di banyak tempat, ratusan juta dipake buat renovasi gedung 1-2 taun sekali cuma gara-gara ga cocok selera. btw, great story!! luar biasa kisah yang diangkat. setelah kuinget inget lagi, dalam lingkaran sosialku, temen temen bea cukai memang yang jarang sekali mengeluh :p

    kudoain mas dikasih kesempatan mengunjungi pulau nasi, pulau aceh, dan pulau rondo, perbatasan negeri sebelah barat 😀

    • makasih neni..
      inilah nelongsonya Indonesia, ada banyak sekali yang harus diperbaiki ya..

      anyway, doanya indah sekali..saya aminkan! 🙂

  3. Inspiring as always Bang Chan.
    Kalau kamu bilang tidak pernah berdoa bisa ke Timor, aku sudah mendoakannya tiap malam sejak tahun lalu. Semoga bisa kesampaian. Hehehe.

    Terima kasih sudah menuliskan potret perbatasan Indonesia. Semoga ada perubahan positif di perbatasan setelah kau menulis ini 😉

  4. Keren abis om, artikel perjalanannya. Suka banget kritik sosialnya tentang wajah negara juga berada di perbatasan.
    Yah walaupun belum pernah jalan2 ke perbatasan membaca artikel ini sudah cukup tahu tentang gambaran bagaimana Indonesia akan perbatasan.
    Semoga presiden yang baru setidaknya peka akan hal ini.

    Nice Foto BTW, keyen 😀

  5. dalem banget ceritanya walopun panjang banget.hehe
    semoga perbatasan negara kita sebelah mana saja bisa menjadi lebih baik ya 🙂

  6. terasa campur aduk baca cerita ini……..sedih, geram, ada senengnya juga……..semoga yang punya kapasitas untuk merubah keadaan lebih baik segera bertindak……..

  7. wow, bacanya ngos-ngosan nggak berhenti2 nih mas ef. Aku penasaran atambua nih, kayaknya seru ya overland dari kupang ke timor leste

  8. perjalanan yg seru namun mengharukan, ya Om. semoga pemerintah sesegera mungkin dapat memenuhi sarana dan petugas diperbatasan.

  9. iya kalau negara baru aja peduli ama batas,malu dong masa punya kita di biarin gimana kalau ada serangan mendadak kasian ngak sama yang jaga batas.

  10. aduuuuhhhhh…..saya yg sering mondar mandir Betun-Atambua-Dili punya kacamata yg berbeda lho…mengenai bangunan dan petugas jaga lintas batas yang seolah olah kita kalah bonafide…..urgensinya dimana ? sudah ekologis nggak dgn keadaan sekarang ? Ingat !!! kita sudah rugi sangat besar gara gara timor timur dlm banyak hal… santai sajalah……situasi terkini sebagian besar masyarakat Timor leste (di luar Dili)masih lebih miskin/menderita drpd WNI malah mereka tdk puas dgn pemerintah mereka sekarang…..sptnya perang saudara masih siap siap mengintip…..jadi Isu Xanana Gusmao mau gabung Indonesia lagi itu bukan tanpa alasan…..jangan melihat casingnya saja tapi keropos dalamnya…

  11. membca blog ini saya ke ingat di sana, d tanjung motamasin,metamauk…2 kali kesana dlm 2 bulan. saya mngamati dan berbaur sama warga…disana, …

  12. menyentuh banget membaca kisah perjalanannya pak, terima kasih telah berbagi pengalaman tentang perbatasan, soalnya saya di jakarta jadi ga tau info perbatasan dah hahaha

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here