Batudaka, Sulawesi Tengah. Ini Kepulauan Surga katanya.

Beberapa hari belakangan di beberapa komunitas yang saya ada di dalamnya, di obrolan linimasa dan dinding-dinding facebook banyak yang membahas tentang kenaikan tarif masuk ke Taman Nasional yang berlaku di tahun ini.Di dalam kasus ini saya sepakat bahwa tarif ini harus dinaikkan, gunung-gunung, taman nasional dan alam yang banyak kemudian tempat dilabel surga memang harus dihargai selayaknya.

Kenapa saya bilang kurang? di mata saya, tarif yang mahal adalah satu cara untuk memproteksi alam. Kita tahu, Indonesia sangat lemah di pengawasan dan pengelolaan, orang datang membanjir tanpa bisa dicegah dan diatur setiap harinya. Ketika sadar, semua sudah terlambat, telat. Saya pikir dengan kenaikan tarif ini pengunjung harus mulai bersikap adil, bahwasanya butuh effort lebih untuk menikmati semua itu.

Berapa sih tarif sebelumnya? Di aturan baru tarif naik cukup tinggi. Katakan untuk mendaki, naik dari Rp 7.000 ke angka Rp 27.500. Bagi saya ini masih terlalu murah, di negara sebelah, untuk naik Kinabalu saja minimal harus keluar Rp 1.500.000,00, harus reservasi dulu jauh-jauh hari, ada pendataan, wajib sewa porter, ada jadwal dan aturan ketat yang dipatuhi.

Di Indonesia? maka tinggal rogoh Rp 27.500 anda tinggal melenggangkan langkah mendaki ke atas. Tak peduli kamu bawa alat lengkap tidak, tidak peduli nanti kamu buang sampah di atas gunung atau tidak, asal ada Rp 27.500 semua beres. Negeri ini memang gemar menjual apapun dengan murah, masyarakat pun terlena dengan apa-apa yang murah, tak ada aturan, aturanmu adalah aturanmu sendiri.

Seberapa mahal sih Rp 27.500 dibandingkan harga yang dibayar karena kerusakan alam akibat gunung yang didaki terus menerus? Sebelum tarif berlaku, tarif lama sudah berlaku sejak 1998, itu berarti 16 tahun yang lalu. Selama 16 tahun orang-orang sudah menikmati tarif yang begitu murah, saya mengutip kata-kata teman saya yang bertugas di Baluran.

“Seharusnya publik harus menyadari masak dari dulu cuma bayar 2000 melulu sih? Apa gak malu sama hutan yang sudah menyuplai oksigen dan air tiada henti-hentinya dan kita cuma bayar seharga dua kali kencing di terminal Bungurasih?”

“Masuk Jatim Park II saja, yang semuanya serba artifisial, penuh dengan make up dan lesser conservation values, harga 75.000 kita mau ngantri. Lha ini kita melihat langsung ciptaan Tuhan hanya dengan 20.000 per ekor kan masih murah? Ada banyak ilmu, pengalaman dan keindahan yang bisa kita peroleh dari harga 2 bungkus rokok GG yang saya habiskan sehari itu.”

Bagaimana dengan pendapat di atas? Di mata saya, kenaikan tarif itu masih sangat-sangat murah. Apa sih arti kenaikan tarif sekian puluh ribu rupiah dibandingkan harga yang harus dibayar jika alam tersebut lantas rusak parah?

Kadang saya sampai geleng-geleng, demi ransel gunung harga ratusan ribu, demi sepatu boots merek luar negeri pun rela rogoh kocek dalam-dalam, demi sehelai jaket windshield, gore tex, polar pun rela berburu kemana-mana, tapi demi menikmati alam yang hijau dan cantik ini keberatan jika tarif naik? Kalau bisa malah bayar semurah mungkin. Tak sadarkah bahwa ada ironi di balik ini semua? Mau sampai kapan alam kita dijual dengan murah sampai rasa-rasanya tak ada harganya, tak dihargai.

Saya merasa orang kita memang merasa miskin, sampai bayar mahal sedikit pun enggan. Ditambah demam surga, apa-apa dibilang surga, pantai pasir putih sedikit, surga, gunung hijau dikit, dibilang surga, snorkling di karang-karang dibilang surga. Semudah apa sih datang ke surga dan seberapa besar penghargaan atas nama surga? Memang, sekarang makin mudah pergi ke surga, menikmati hembus angin, warna warni mentari. Semudah ormas tertentu teriak nama Tuhan lalu menjanjikan anggota ormasnya semua masuk surga?

Tidak, dalam setiap konsepsi agama, Surga tidak bisa dimasuki semua orang, hanya bisa dimasuki oleh manusia yang berbuat baik sepanjang hayat, sifatnya tidak cidera dan sadar akan kesalahan-kesalahannya. Saya pun berpendapat demikian, jika surga versi bumi seharusnya memang dihargai tinggi. Surga itu tak ternilai, keindahan itu tidak bisa diuraikan dan terlalu remeh-temeh jika masih dihargai dalam lembaran rupiah.

Apa perasaan kalian ketika melihat keindahan “surgawi” yang kalian deskripsikan? Pasti lamat-lamat, lambat laun kalian akan merasa “surga” yang kalian nikmati itu tak ternilai harganya, tak bisa dibeli dengan apapun, berapapun. Lama-lama pasti kalian akan merasa harga yang kalian bayar untuk sebuah surga itu terlalu murah.

Saya memandang, kenaikan tarif ini merupakan momen yang pas untuk belajar menghargai alam. Selama ini insan-insan wisata saling berbaku argumen satu sama lain, saling menyalahkan satu sama lain tanpa ada usaha bersama untuk menjaga alam. Minimal ada perbaikan, saya yakin bahwa tarif baru berarti juga ada sesuatu yang baru. Saya yakin pasti ada perbaikan, minimal dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional.

Sembari menunggu perbaikan, marilah berubah. Kapan akan sadar kita menghargai sesuatu dengan semestinya jika tidak sekarang? Alih-alih menggerutu tarif naik bukankah lebih baik menyisihkan uang lebih banyak agar bisa membayar kenaikan tarif tersebut. Daripada mencoba menerobos aturan, bukankah lebih baik belajar mendisiplinkan diri mengikuti aturan yang ada?

Soal wisata alam di Indonesia memang sepertinya beda jauh pengelolaannya. Saya pernah sedikit trekking kala di Jepang, sepanjang jalan tak saya temui sampah bertebaran, tak ada jagawana pun tak ada petugas, jalurnya bersih sekali dari sampah non organik.

Kenapa demikian, tak lain karena kesadaran masyarakatnya sudah tinggi. Sudah tak perlu dijaga lagi karena pemahaman akan menjaga lingkungan sudah tinggi. Mereka yang trekking pun umumnya sudah mempersiapkan diri dengan sangat – sangat lengkap dan taat pada aturan yang berlaku di tempat trekking.

Ayolah, mari merenung dan jangan egois. Jika kita mengaku seorang penikmat alam yang hijau, seharusnya kita juga mulai bersikap “hijau”. Ingat, kerusakan alam bukan hanya soal perambah hutan, polusi, pembuang limbah. Segala hal sekecil apapun yang merusak alam juga termasuk di dalamnya.

Negeri ini sudah terlalu lama menjual murah alamnya, pada bangsa sendiri, pada bangsa lain. Kata orang negeri ini zamrud khatulistiwa, tapi jika zamrud tentunya harganya sangat mahal, bukan murah meriah. Apa pantas Zamrud dihargai murah?

Lantas siapa yang bisa merubah kondisi ini? Bukan pemerintah, bukan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, bukan masyarakat, bukan pengunjung. Tapi semua, semualah yang harus membuat segalanya lebih baik lagi.

Sayangnya, orang-orang lebih memilih jadi penggerutu dan punya standar ganda, ingin menikmati alam tapi enggan menaati peraturan. Ketika ada aturan baru, selalu berbondong-bondong melakukan penolakan sebelum dipahami dengan benar.

Jika keadaan seperti initidak berubah, tunggu saja surga-surga baru berbondong-bondong rusak, ditinggalkan lantas dilupakan. Mana lagi yang hendak menyusul Sempu? Tidung? Semeru? Surga-surga baru yang mendadak ramai lalu dalam waktu singkat berubah mirip pasar induk dengan sampah dimana-mana dengan comberan berbau busuk.

Tapi sayangnya, negeri ini rasa-rasanya senang menjual murah dan para pembeli pun selalu menolak kenaikan harga.

Tabik.

Ps :

Kutipan di atas saya ambilkan dari Blog Pratapapa 81.

Aturan tentang tarif masuk Taman Nasional dari 1998 dan 2014 bisa dilihat di sini dan di sini.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

55 KOMENTAR

  1. Sebagai penggiat gunung mas, eaaaaa, penggiat. Daku sih anaknya nurut kok, kalo musti naik ya naik lah. Asal jangan dikorupsi aja, lah jadi berat. Maksudnya, eke sih setuju2 aja. Kalau eke pas gak punya duit ya gak naik gunung, lagi ada rejeki ya naik gunung, as simple as that. Jangan maksain kemampuan toh kalo gak sanggup. Lagian mas, apa yang dirimu katakan benar adanya. Daku sih oke, gak tahu deh mas anang sama mas dhani gimana~~

    • nah soal Korupsi seharusnya transparan..masalahnya sistematika PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) ini agak rumit. kapan2 tak jelaskan kalau ada waktu. 🙂
      betul, ga usah dipaksakan ya dek syahrini..

  2. aku suka sekali postingan ini. bener mendingan nabung daripada ngerokok sebungkus kalau mau naik gunung. walau gak cuma harga mahal yang bisa mengurangi polusi di gunung, tapi juga edukasi kebersihan termasuk pendaki dan porter2nya. sulit diraba siapa yang membuang sampah pada jam berapa. tapi semoga ada pengelolaan sampah yang lebih baik, baik berkurang dengan sendirinya karena mental pendaki yang lebih baik atau ada penanganan (yang butuh dana) dari jagawana untuk sampah-sampah sekunder (yang kecil-kecil).
    🙂

  3. Saya termasuk yang sepakat dengan kenaikan tarif taman nasional di negeri ini. Selain karena secara logika itu tarif lama tahun 90an, dan sekarang sudah ada tarif baru sesuai peraturan pemerintah, juga karena itu adalah salah satu solusi untuk melindungi ekosistem taman nasional yang mungkin sesekali jengah dikunjungi manusia. Saya juga heran begitu murahnya ketika naik Gunung Rinjani 2013 lalu masih 2.500 rupiah, begitu juga masuk Baluran, rasanya tidak sepadan dengan panorama yang disajikan. Perlu diingat, bumi ini sudah terbentuk miliaran tahun yang lalu untuk menjadi indah seperti sekarang, tapi manusa yang baru tercipta dan ada 200.000 tahun yang lalu sudah sanggup dan sombong mengambil dan merusak sumber daya alam yang memberinya hidup. Yang menjadi Pe-Er sekarang mungkin bagaimana membuat pihak terkait/pengelola wisata sekitar taman nasional juga ikut merasakan dampak positif, kalau pengunjung mengeluh kenaikan tarif mungkin agak (maaf) munafik juga karena selama ini konsumen Indonesia termasuk konsumtif dan taraf hidupnya sebagian besar cukup tinggi.

    So, mari selamatkan taman nasional dengan konservasi 🙂

  4. Bener juga mas
    Masuk Dufan, Trans Studio rela bayar lebih mahal tapi giliran tiket objek wisata mahal yg naiknya sedikit ngomel-ngomel

  5. Menurut sya keindahan alam itu untuk dinikmati bukan untuk dikomersialkan, toh semua itu ciptaan Tuhan, manusia tugasnya cuma menjaga dan melestarikan, jadi gak ada hubungannya kenaikan tarif dgn menjamin rusaknya hutan, smua itu tergantung manusianya sendiri, kalo mereka sadar kayak seperti orang jepang, pastinya semua akan menjaga dan melestarikan, yg perlu dibenahi peraturan dan konsekuensi jika melanggar peraturan, pemerintah harus tegas, kenaikan tarif bukan solusi, karena keindahan ciptaan Tuhan tidak seharusnya dikomersialkan, tetapi untuk dinikmati, dijaga serta dilestarikan

  6. Second to this article. Biar tahu cara menghargai objek wisata. Semoga dengan kenaikan yang cukup signifikan bisa bikin perilaku “gue-udah-bayar-ya-terserah-gue-mau-ngapain” bisa berkurang. Kalau perlu setelah kenaikan tetap dievaluasi lagi.

  7. Kenaikan tarif menurut saya perlu, selain untuk membatasi jumlah pengunjung karena banyak wisatawan lokal kita yg seperti definisi mas Kokoh semau gue,,, (membuang sampah sembarangan, mencabut tanaman, memegang terumbu karang, dll) juga untuk melengkapi fasilitas taman nasional dan tentukebutuhan konservasi

  8. 100% saya sepakat dengan postingan ini.
    Di negeri semuanya karena semua dijual terlalu murah akhirnya tidak begitu dihargai dan dijaga. Jadinya menggampangakan segala sesuatu karena murah. Padahal untuk melihat surga gak segitu murahnya kelleus.

    malah makanan yg harganya ngeri kadang2. misalnya di lombok, ayam bakar taliwang dihargai 30-100an ribu per porsi dan itu biasa dikit bgt.. lebih murah dari yg jualan di emperan atau pinggir pantai dengan menu yg sama 😀 mahal pajak kali yak.

    ayolah.. kita dkung ini. Agar “surga” kita lebih terjaga dan dihargai.

  9. Saya mau komen sedikit mengenai tulisan ini ya mas nya.

    Jika membaca tulisan ini, mungkin saya bisa mengambil kesimpulan kalau Mas Farchan belum membaca secara keseluruhan PP 12 tahun 2014 mengenai kenaikan tarif masuk TN/Tahura/Taman Wisata Alam. Tapi mohon maaf jika saya salah ☺

    “seberapa mahal sih Rp. 27.500 dibandingkan dengan harga yang dibayar karena kerusakan alam akibat gunung yang didaki terus-menerus? Selama 16 tahun orang-orang sudah menikmati tarif yang begitu murah”.

    Saya rasa, persis seperti itulah pola pikir yang dimiliki oleh orang-orang Departemen Kehutanan pada saat menyusun PP ini. Pola pikir yang menurut saya berlandaskan arogansi, karena mereka merasa sebagai pemilik/penguasa wilayah.

    Adalah harapan kita bersama bahwa kenaikan tarif tersebut akan berbanding lurus dengan perbaikan pengelolaan TN. Harapan kita juga, bahwa dengan kenaikan tarif tersebut, kita jadi belajar untuk lebih menghargai alam. Namun sebagai warga negara yang budiman, kita semua masih harus terus-menerus memberi maklum bahwa bukan itulah kenyataan yang akan terjadi. Saya akan mencoba menjelaskan pendapat saya melalui beberapa poin dibawah ini:

    1. Kenaikan tarif masuk yang tercantum di PP 12 tahun 2014 tidak sesederhana yang mas katakan, yakni dari harga Rp. 7,000 ke harga Rp. 27,500 per kunjungan. Namun PP yang baru menghitung tarif berdasarkan jumlah hari dan jumlah kegiatan. Jadi, tarif masuk yang baru sebesar Rp. 20,000 per hari, untuk biaya masuk saja. Sementara kegiatan camping, trekking, hiking, climbing akan dihitung terpisah, yakni sebesar Rp. 5,000 per orang per hari PER KEGIATAN. Jadi jika dalam 2 hari kita ingin melakukan kegiatan camping, trekking, hiking sekaligus climbing, kita akan dikenakan biaya Rp. 40,000 per orang (belum termasuk tarif masuk).

    2. Sebagai traveler/pejalan/backpacker yang suka pamer, tentunya kegiatan wisata tidak bisa lagi dipisahkan dengan kegiatan foto/video (karena no pic adalah hoax, dan karena semua orang butuh pengakuan). Biaya untuk penggunaan kamera juga mengalami kenaikan yang kurang masuk akal, yakni dari Rp. 5,000 menjadi Rp. 250,000 dan biaya untuk kamera video naik dari Rp 15,000 menjadi Rp. 1,000,000.

    3. Keberadaan pariwisata di wilayah TN selayaknya mengutamakan kesejahteraan masyarakat sekitar. Tujuan dari kegiatan pariwisata di wilayah TN seharusnya tidak melulu dilihat dari sudut pandang kita sebagai turis manja (itu saya sih). Namun yang terpenting adalah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memandang keindahan alam sebagai suatu aset yang harus dilestarikan, sehingga tingkat eksploitasi SDA bisa ditekan. Karena harus diingat, bahwa kerusakan lingkungan yg paling banyak terjadi di Indonesia bukanlah kerusakan alam yang diakibatkan oleh kegiatan wisata, namun lebih kepada kegiatan eksploitasi SDA secara berlebihan.

    PP thn 2014 menambahkan poin baru yang belum ada di PP thn 1998, yang menurut saya bertentangan dengan tujuan kegiatan pariwisata untuk kesejahteraan masyarakat, yakni dengan diadakannya pungutan untuk pelaku usaha jasa pariwisata (guide, porter, dll) yakni sebesar Rp. 150,000 per bulan untuk perorangan, dan Rp. 800,000 per bulan untuk kelompok.

    Bisa dibayangkan berapakah bayaran yang diterima oleh mereka setiap bulannya? Bukankah pungutan tersebut akan memberatkan mereka? Apakah kompensasi yang mereka dapatkan dari pungutan yang dikenakan kepada mereka tersebut?

    Di Gunung Rinjani contohnya, setiap beberapa bulan sekali, persatuan guide/porter memiliki jadwal rutin untuk menyusuri jalur pendakian sambil membersihkan sampah. Mereka adalah orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada kegiatan pariwisata di Gunung Rinjani. Pernahkah pihak TN menunjukkan kepedulian akan masalah sampah? Setau saya belum.

    4. Tidak adil rasanya jika kita membandingkan kondisi kita dengan negara tetangga, dimana masyarakatnya memiliki penghasilan yang cukup, tanpa perlu merambah hutan ataupun melakukan pengeboman terumbu karang. Seperti yang telah saya jelaskan di poin 3, bahwa pariwisata dipandang sebagai cara yang paling efektif untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan bagi masyarakat.

    Dengan banyaknya masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor pariwisata, lonjakan tarif masuk tersebut tentu akan mempengaruhi tingkat kunjungan wisatawan baik asing maupun lokal. Penurunan tingkat kunjungan akan berdampak signifikan pada penghasilan para pelaku usaha pariwisata (guide/porter). Ditambah dengan adanya pungutan bulanan bagi pelaku usaha, sudah jatuh tertimpa tangga pula.

    Saya bukanlah orang yang sepenuhnya menentang kenaikan tarif masuk TN. Bahkan pada penelitian tesis saya di TN Wakatobi, saya menambahkan saran untuk menaikan harga masuk TN karena memang harga yang ada sebelumnya sudah tidak layak. Namun menurut saya ada baiknya jika kebijakan penetapan tarif tersebut disusun oleh orang-orang yang mengerti permasalahan secara komprehensif, dan bukan semata menilai dari sisi tertentu saja.

    Menurut saya hal ini tidak semudah “kalo ngga mau bayar ya ngga usah dateng!”. Namun hal ini menyangkut orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada kegiatan pariwisata. Jika jumlah pengunjung menurun drastis, kita sebagai orang kota bisa dengan mudahnya bilang “bagus deh, biar ngga banyak sampah” namun bagaimana dengan mereka yang harus menghidupi keluarganya? Tahukah anda berapa banyak mantan pemburu burung langka yang sekarang bekerja menjadi guide bagi para bird watcher? Berapa banyak mantan nelayan pengebom yang sekarang bekerja menjadi guide bagi para penyelam? Berapa banyak mantan perambah hutan yang sekarang bekerja menjadi guide bagi para pendaki gunung? Berapa banyak dari orang-orang tersebut yang akan kehilangan mata pencahariannya sebagai guide dan kemudian kembali ke profesi lamanya?

    • Koment dikit ya…PP ini yang buat bukan dari Kementerian Kehutanan saja namun Pemerintah dalam hal ini juga Kementerian Keuangan. Kami yang ada di dalam sistem Taman Nasional juga merasakan berat dengan adanya PP ini karena naiknya yang cukup signifikant dan jenisnya yang bertambah. Uang yang diterima dari pungutan dan ijin tersebut 100% akan masuk ke rekening negara dan setiap tahunnya akan diperiksa oleh BPK RI. selisih Rp.50,-pun antara yang disetor dengan karcis yang disobek dianggap kerugian negara lo…
      untuk tarif masuk yang per hari menjadi masukan untuk direvisi …karena akan menjadi susah dalam penerapannya di lapangannya juga selain cukup memberatkan.
      Keberadaan TN selama ini bukan hanya menjaga dan melindungi saja..banyak kegiatan yang di lakukan oleh pengelola TN..menginventarisasi dan memonitor keberadaan satwa di dalam TN..pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pelatihan, pemberian bantuan, yang kesemuanya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka..ya bisa jalan2 dan mampir ke kantor TN untuk menanyakan kegiatan2 yang sudah dan sedang dilakukan mereka..
      TN diseluruh Indonesia jumlahnya ada 50 TN dan tidak hanya berupa gunung saja..karena yang dijaga dan dilestarikan oleh pengelola TN selain kawasan juga ekosistem yang ada didalamnya..
      mampir di astekita.wordpress.com untuk sedikit mengetahui kegiatan2 yang selama ini sya lakukan di TN…sya pernah di TN Teluk Cenderawasih dan sekarang di TN Merbabu..
      Salam Konservasi….

      • Terima kasih atas komentarnya, Mas Ardi 🙂 kebetulan saya juga bergaul akrab dgn bbrp TN seperti Takabonerate dan Wakatobi, karena pernah melakukan penelitian disana. Dan skrg kantor saya sedang bekerja sama dengan TN Kerinci Seblat, Gunung Leuser dan Bukit Barisan Selatan dibawah UNESCO dlm program TRHS, untuk menyusun dokumen perencanaan ekowisata di ketiga TN tersebut. Saya sudah beberapa kali mengunjungi Teluk Cendrawasih, dan berharap mudah2an akan ada kesempatan untuk berkunjung ke Merbabu 🙂

        Regards

        • Odre + Ardi :
          Makasih tambahannya, sangat lengkap dan komprehensif.
          Saya mau menanggapi beberapa poin :
          1. Jika memang dibuat tarif per hari, justru itu bisa membuat para pengunjung lebih disiplin untuk taat pada jadwal sesuai yang mereka sendiri bayarkan. Hal ini bagus untuk limitasi pengunjung, dengan ini seharusnya pihak TN bisa membuat database pengunjung masuk, pengunjung keluar dan berapa lamanya. Setiap pengunjung juga bisa diberikan tanda pengenal sebagai pengunjung.
          2. Dengan dimasukannya sebagai PNBP justru ini mendorong akuntabilitas pengelolaan yang lebih baik. Karena saya orang kementerian keuangan, jadi sedikit banyak mengerti alur PNBP ini, justru untuk TN bisa dijadikan acuan untuk pengelolaan. Transparansi pengelolaan ini seharusnya tidak dijadikan beban, tapi mendorong kinerja badan sesuai dengan semangat reformasi birokrasi.
          3. Untuk porter memang seharusnya tidak diberikan pungutan karena logikanya jadi aneh. Mungkin amanatnya adalah pemerintah mendorong agar porter lebih tertib dan dijadikan sebuah organisasi.

          Salam

  10. Bener kak. Aku juga selalu heran sama orang yang dikit2 bilang surga surga surga. Kalo surga ada banyak, jadi gak surga lagi dong? Semoga makin banyak orang2 bener yang bisa mikir dengan lurus sehingga kekayaan Indonesia ini makin kaya, bukan makin bangkrut. Aamiin.

  11. Suka artikel ini dan setujuuu banget ama perihal kenaikan tarif Taman Nasional.
    Semoga banyak pejalan yang menyadari tindakan yg diambil pemerintah ini demi kelangsungan alam yang lambat laun makin kritis gara-gara tindakan yang entah sadar atau disengaja sudah merusak alam Indonesia. ^^

  12. Tarif masuk yang naik menurut saya sangat wajar, tetapi tidak untuk tarif membawa kamera. Fotografer itu ‘pegawai pemasaran’ gratis bagi setiap tempat wisata. Mereka hampir pasti membagikan foto-foto perjalanannya di media sosial dalam bentuk apapun. Disitu terjadi dialog-dialog antara fotografer dan kawan-kawannya yang mungkin belum pernah pergi ke tempat itu. Dan itu adalah promosi gratis bagi tempat wisata. Jadi tarif 250 ribu untuk kamera dan 1 juta untuk video itu sangat tidak masuk akal. Mungkin perlu tarif khusus bagi fotografer profesional yang mau mengambil lokasi itu untuk kegiatan komersial seperti prewed, dll.

    • saya setuju dengan mas deddy..sebaiknya memang ada klasifikasi untuk aktifitas memotret di kawasan taman nasional tsb. untuk komersil jelas dibedakan dengan mereka yang hanya beranjangsana.

  13. salam kenal efenerr…
    sebelumnya makasi yah udah blogwalking.

    ejie suka kalimat ini :
    Kadang saya sampai geleng-geleng, demi ransel gunung harga ratusan ribu, demi sepatu boots merek luar negeri pun rela rogoh kocek dalam-dalam, demi sehelai jaket windshield, gore tex, polar pun rela berburu kemana-mana, tapi demi menikmati alam yang hijau dan cantik ini keberatan jika tarif naik? Kalau bisa malah bayar semurah mungkin. Tak sadarkah bahwa ada ironi di balik ini semua? Mau sampai kapan alam kita dijual dengan murah sampai rasa-rasanya tak ada harganya, tak dihargai.

    kadang suka bingung aja ngeliat org yang rela berburu suatu barang dengan MERK yg punya nama. ada apa dg merk biasa, tapi fungsinya sama? salahkah?
    ejie lebih melihat kpd fungsi dan kualitas. jujur, ejie selain buta peta, juga BUTA MERK. hhehe

    semangat berkelana, efenerr 🙂

    • Salam Ejie. 🙂
      Sama-sama, terima kasih juga sudah blogwalking di sini. 🙂
      Betul, memang kita sangat-sangat kurang menghargai apa yang kita punyai.

      Salam Kelana.

  14. kalo menurut saya, kenaikan tarif terhadap objek wisata alam sebenarnya kebijakan yang kurang pas. logikanya tuhan ngasi kita gratis kok dikomersilkan. walaupun memang tarifnya ga naik banyak untuk yang lokal :-p Kalo tujuannya kita fokuskan untuk masalah ‘konservasi’ sebenernya bukankah bisa dengan menggunakan sistem kuota saja, sehingga orang2 yang masuk terdata dan terdistribusi merata sepanjang tahun ? karena menurut saya objek wisata alam juga merupakan sarana meningkatkan ekonomi penduduk, sehingga kenaikkan tarifnya berpengaruh juga terhadap perekonomian penduduk yang menggantungkan hidupnya dari sana, atau ? Memang terkesan pesimis, tapi kalo tarif naik apa tidak menurunkan jumlah wisatawan ? ambil contoh pantai2 di bali yang masuknya banyak yang ga bayar … kalo kenaikan tiket maka masuknya adalah ke pendapatan pemerintah (walaopun saya orang pemerintahan), nah dari pemerintah proses kembali ke masyarakatnya gimana ? proses ke urusan konservasinya gimana ? itu perlu dijelaskan juga. kalo masuknya langsung ke masyarakat kan masyarakat sendiri yang merasakan, jadi harusnya akan tumbuh kesadaran untuk menjaga, pemerintah hanya tinggal mengedukasi. Menurut saya sistim kuota menjawab persoalan itu. kalo untuk kenaikan tarif perlu ada penjelasan itu mau dipake kemana ? pengolahan sampah kah ? penelitian kah ? membuat fasilitas kah ? kalo perlu rencananya ditempel aja di taman2 nasionalnya sehingga bukan tidak mungkin malah ada yang mau jadi volunteer atau donor. tiket masuk taman wisata alam itu menurut saya malah kurang bijak kalo harganya mahal, jangan dilihat harga tiketnya aja, liat perjalanannya, untuk sampe baluran dari jakarta misalnya tiket pesawat ke surabaya ? kereta ? naik mobil lagi ke taman nasional ? masuk ke dalem ? penginapan ? makan ? jadi ga bisa dibandingin ama rokok atau kencing sih menurut saya. kenapa saya ngambilnya dari kota besar kaya jakarta ? karena biar ekonomi nya terdistribusi ke daerah2, orang2 kota yang mau liburan akan membelanjakan uangnya di daerah. kalo menurut saya justru dengan menaikkan tarif itu kita “menjual” surga kepada hanya orang2 yang mampu. contoh pulau bintan, bagus sih, tapi apa itu merakyat, jangan2 ntar kalo udah eksklusif ga ada tempat lagi bahkan untuk masyarakat bawah yang dulunya merupakan penduduk asli daerah tersebut. Kesimpulan, tarif sudah naik, maka rencana pengelolaan juga harus dinaikkan ke papan2 pengumuman di wisata2 alam tersebut. 🙂 -just sharing-

  15. kalau memang buat kemajuan gunung setuju, tapi sudah kah ada buktinya?
    buat kita yang mendaki dan membawa turun sampah sndri bahkan yang bsa di bawa selagi kuat, yang menjaga kondisi alam, yang ingin menikmati keindahan bumi pertiwi. tanah ini milik seluruh rakyat jadi seharusnya jangan sampai terlalu membebankan.
    klo niat naik gnung duitnya pas, masa kita g bsa menikmati keindahan di negara sendiri????
    coba d renungkan…..

  16. Hmm… kenaikan di Bromo sih kecil. Gosipnya, di Taman Wisata Alam Tangkoko, Sulawesi Utara, kenaikannya drastis, dari Rp 75.000/orang (sudah termasuk kamera), jadi sekitar Rp 200.000. Nah siapa yang mau dateng kalo gitu? Mending beli pulsa atau J-Co ya?

    Yang paling penting menurut gua tentang kenaikan tarif Taman Nasional adalah 80% masyarakat negeri ini miskin. Dengan kenaikan ini, mereka semakin tidak bisa menikmati alamnya. Orang Probolinggo yang cuman mampu ke Bromo beserta keluarga, udah ga bisa lagi main ke sana ya? Goodbye pendidikan alam! Kenaikan itu harus memikirkan dampaknya ke masyarakat luas. Masyarakat luas itu bukan backpacker yang bisa jalan dari Jakarta ke Bromo, tapi orang yang tinggal di jalan menuju Bromo yang sehari-hari jadi petani.

    Anyways, untung udah pernah ke Bromo dan Tangkoko. #eh

  17. Saya setuju dengan kenaikan. Meskipun saya memiliki usaha trekking organizer yg dimana ini brdampak pada harga paket trekking saya, tapi melihat kenyataan di lapangan saya sangat setuju. Memang ada beberapa cara lain seperti menswatakan pengelola taman nasional, tapi ini pasti akan menimbulkan banyak pro dan kontra. Dan menaikkan harga adalah salah satu solusinya.

  18. Setuju dengan kenaikan. Membuat Taman Nasional menjadi lebih eksklusif. Tapi kalo kenaikannya gak signifikan ya perbedaannya gak signifikan juga. Kayak Kinabalu tiket naik 1,5 juta, saya akan bilang WOW kemudian penasaran seperti apa sih gunung itu? Mahal banget? Dan mulai menabung untuk ke sana!

  19. Top om. Terkadang kita terlalu mudah berucap ‘surga’ tapi teramat berat mengekuarkan sedikit uang untuk itu. Padahal surga tak bisa dinilai dari tumpukan ‘soekarno hatta’

  20. Menurut saya sebagai orang awam, kenaikan tarif tidak sama dengan komersialisasi alam. Tapi pembatasan frekuensi manusia-manusia yang berkunjung. Saya setuju dengan penaikan tarif, asal juga di barengi dengan fasilitas pra-pendakian dan edukasi sebelum naik. Semua butuh proses, dan mungkin proses paling awal adalah menaikkan tarif. Karena untuk mendoktrin masyarakat agar sayang alam butuh ‘revolusi mental’ yang memakan waktu. Xixixix salam 3 jari.

  21. Mengaminkan isi postingannya Mas. Gak bisa komen panjang lebar tapi memang ngenes kalo pas baca ke taman nasional di luar negeri harus bayar sekian rupiah dengan perlengkapan lalalili sementara di sini cuma segitu dan banyaaak banget sampah tersisa belom lagi kegiatan vandal lainnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here