IMG_2047
Berbagi Nasi CImahi 2013
Bagaimana sebuah kesadaran kolektif untuk berbagi dengan sesama oleh anak-anak muda Cimahi.

Tulisan ini sedikit banyak menanggapi tulisan @KenSavitrie di Kompasiana : Seberapa Besar Kontribusi Travel Writer pada Kerusakan Lingkungan? dan diralat disini Apakah Travel Writer Berkontribusi pada Kerusakan Lingkungan?

Saya akan memberikan beberapa contoh kasus :

Tomohon, 2o11

Saya ke Pasar Beriman Tomohon di Sabtu pagi. Besok hari gereja, itulah mengapa di Sabtu pagi pasar ramai. Saya segera menuju los daging, dimana los ini sudah masuk ke dalam salah satu atraksi wisata utama di Tomohon. Disinilah daging anjing, kelelawar, tikus, babi hutan sampai ular diperjualbelikan.

Begitu sampai los saya langsung disapa oleh penjual daging.

“Sini ee, foto-foto kami”

Saya menyapa hangat penjual daging kelelawar dan tikus itu, bertanya bagaimana cara mengolah dari kelelawar dan tikus hidup sampai disajikan di pasar. Bau anyir makin menyebar dan darah binatang tercoreng moreng dimana-mana, melihat saya menahan mual dan ingin muntah, bapak penjual daging makin berseloroh.

“Ya, beginilah orang Tomohon, apa saja dimakan, termasuk setan..”

Setan? Ya menurut bapak penjual tadi dalam keyakinannya, ular adalah simbolisasi setan.

Saya segera ke bagian belakang pasar, disitulah saya sebut tempat eksekusi binatang sebelum dijual. Anjing-anjing bermuka sedih dalam kandang besi dan sempit menunggu mati. Tongkat pemukul anjing dengan bercak darah diletakkan begitu saja diatas kandang besi, sementara masih ada 1 lagi orang yang siap membakar badan anjing utuh yang sudah mati.

Disana saya melihat seekor anjing yang sudah dieksekusi, saya langsung muntah-muntah tidak kuat melihatnya. Melihat saja tidak mungkin, bagaimana saya menuliskannya? Saya kemudian berpikir, tulis – tidak, tulis – tidak, tulis – tidak. Saya mencoba memahami ini dari 2 sisi, pasar ini adalah sistem budaya masyarakat Tomohon. Di sisi lain jika dipandang dari sisi pecinta binatang, tentulah ini sebuah kekejian.

Pada akhirnya saya memutuskan untuk tidak menulisnya. Hati nurani saya berkata untuk tidak menulis, saya tidak tega.

Apakah ini sudah cukup Responsible Travel Writer?

382652_2518332396576_1082055607_n

Togean, 2011

Saya diajak Eli, orang Togean yang juga tukang bantu-bantu di penginapan Kadidiri Lestari. Rupanya selain tukang bantu-bantu, Eli merangkap jadi tukang antar turis. Eli mengajak saya menuju Danau Ubur-ubur Air Tawar di Togean. Wait! Saya hanya tahu Danau Ubur-ubur Air Tawar ada di Derawan. Ini keajaiban! Saya segera mengiyakan dan merubah itinerary hari itu demi ke Danau Ubur-ubur Air Tawar.

Saya bilang danau ini indah luar biasa. Amazing. Di dalamnya seperti surreal, seperti di alam mimpi, cahaya matahari menerobos air danau yang kehijauan, menciptakan spektrum warna yang magis di dalam air. Ditambah ubur-ubur air tawar yang mengambang, bergerak sangat pelan, seolah waktu terhenti. Indah sekali.

Saat itu saya dan teman-teman adalah turis domestik yang pertama kali kesana. Rombongan kedua yang kesana, setelah rombongan pertama adalah turis-turis bule kata Eli. Bagaimana saya tidak bernafsu untuk menulisnya? Ini akan jadi booming, saya akan mendapat nama karena saya yang pertama kali menulisnya dan tempat ini pun akan ramai dan populer.

Tapi Eli pesan, “orang Bajo tak mau danau ini rusak karena banyak yang datang, tulis saja gapapa, asal jangan tulis cara kesininya..”. 

Baik, saya mengikuti Eli. Saya tulis tentang keberadaan danau ubur-ubur air tawar, tapi saya tidak menuliskan lokasinya sama sekali, cara kesananya hanya saya tulis : Silakan cari yang namanya Eli di Penginapan Kadidiri Lestari.

Apakah ini sudah cukup Responsible Travel Writer?

393412_2430798008271_275691945_n

Lasem, 2013

20.00 malam, saya cangkrukan dengan teman-teman trip Lasem bersama bapak-bapak dari Fokmas / Forum Komunikasi Masyarakat Sejarah Lasem membahas perkembangan wisata sejarah di Lasem. Saya terlibat obrolan seru dengan penggiat sejarah Lasem, Pak Yon Suprayoga sampai larut malam. Beliau titip pesan pada saya agar membantu mempromosikan Lasem ke teman-teman.

Saya tanya balik, “apa kira-kira masyarakat Lasem siap menerima banyak wisatawan?”

Pak Yon menjawab, “insya Alloh siap, nanti bakal diakomodir sama Fokmas, masyarakat juga sudah diedukasi agar jangan jadi materialistis, apa-apa duit.”

Lasem memang menghadapi masalah yang serius, ketidakpedulian pemerintah, kemerosotan ekonomi, teronggoknya bangunan-bangunan tua. Namun warga berdaya, Fokmas secara pro bono bergerilya membangun Lasem, melakukan penelitian sejarah sendiri, membuat stasiun radio khusus sejarah yang saya kira mungkin satu satunya di Indonesia dengan biaya sendiri, mengusahakan wisata sejarah dengan guide dari Fokmas serta sedang merintis program live in dengan penduduk setempat. Harapannya Lasem bisa seperti Malaka dan Penang di negara tetangga.

Saya merenung sebentar, jika memang garansi Fokmas benar bahwa masyarakat Lasem sudah siap, maka saya kira saya bisa membantu Fokmas untuk menarik wisatawan agar datang dan secara tidak langsung memberi kontribusi pada Lasem. Maka saya lalu menginisiasi untuk membuat E-Book Lasem agar orang mengerti apa itu Lasem, apa potensi Little Tiongkok di Jawa Tengah bagian utara itu.

Jadilah E-Book yang kami kerjakan kroyokan, kami rilis di internet dan bebas unduh. E-Book itu memang kami rancang untuk bisa menjadi sarana materi promosi Lasem yang bisa digunakan oleh Fokmas. Tidak ada keuntungan dari kami, ini proyek sukarela semata-mata karena kami ingin turut membangun Lasem menjadi kota wisata sejarah.

Apakah ini sudah cukup Responsible Travel Writer?

580214_10200341292713872_1725193347_n

 Responsible Travel Writer, Apa Itu?

3 contoh di atas sepertinya pas untuk menjadi contoh kasus. 3 kasus di perjalanan yang berbeda dan saya eksekusi menjadi tulisan dengan pendekatan yang berbeda pula. Lalu apa saya sudah cukup untuk menjadi Responsible Travel Writer? Tunggu dulu, belum ada pengertian yang jelas mengenai Responsible Travel Writer, semua masih belum jelas, karena belum ada definisi pasti tentang apa itu Responsible Travel Writer.

Berbeda dengan Responsible Tourism yang sudah memiliki landasan yang mungkin disepakati oleh sebagian besar penggiat Responsible/Sustainable Traveling. Dasar untuk menggiatkan Responsible Tourism adalah Deklarasi Cape Town 2002 tentang Responsible Tourism. Ringkasnya  adalah bagaimana membangun budaya turisme yang secara ekonomi, sosial dan budaya memihak pada orang lokal, membuat kegiatan turisme yang ramah lingkungan, mengurangi dampak kerusakan pada kegiatan turisme dan mendekatkan turis dengan orang lokal.

Jika Responsible Tourism sudah memiliki panduan dan bisa dijadikan dasar oleh penggiat responsible traveling maka soal Responsible Travel Writer belum ada panduan yang jelas, semua masih subjektif dan berdasarkan pengertian masing-masing. Belum ada kata sepakat dan belum ada batasan mengenai apa itu Responsible Travel Writer itu sendiri.

Saya sendiri menilai bahwa Resposible Travel Writer adalah seorang penulis yang mampu menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan Resposible Tourism. Mungkin bagi saya penulis perjalanan yang bertanggung jawab adalah yang mampu mempertanggungjawabkan isi tulisannya, memiliki empati dengan objek dan subjek tulisannya serta memberi pesan kepada pembaca dalam setiap tulisannya. Tapi pengertian Responsible Travel Writer ini hanya versi saya sendiri.

Nah masalahnya dunia penulisan perjalanan itu sangat luas dan beragam genre. Ada model guide, ada reportase, ada jurnal sampai yang menyentuh sastra. Saya sangat memahami bahwa setiap konten dalam setiap genre penulisan memiliki gaya yang berbeda-beda, tapi saya yakin sebenarnya semua bisa disisipi pesan-pesan untuk tetap arif dalam berwisata dan mengajurkan nilai-nilai Responsible Tourism.

Hanya saja belum semua penulis bisa melakukannya. Faktornya menurut saya pribadi ada 2, yang pertama adalah penulis belum memahami apa itu Responsible Tourism, ini murni ketidaktahuan penulis. Sementara yang kedua adalah memang selera pasar yang dari pandangan saya sampai saat ini masih menyukai hal-hal yang menimbulkan ketakjuban, keindahan dan segala yang membuat orang berkata “wow”. 

Pada kasus bahwa kekisruhan sebuah tempat wisata adalah kesalahan Travel Writer. Seharusnya tidak serta merta ditimpakan pada Travel Writer, juga bukan hanya pada para pejalan, tapi kekisruhan tempat wisata adalah masalah yang kompleks yang melibatkan banyak pihak. Harus ada studi empiris yang lebih jelas mengenai ini.

Ketika ada yang menimpakan rusaknya tempat wisata karena itu tanggung jawab Travel Writer, saya pikir kurang tepat. Karena itu tidak bisa digeneralisasi. Faktor ketidaktahuan misalnya, itu bukan serta merta salah penulis. Bisa jadi memang dia belum tahu atau belum mengobservasi, faktor ini tidak bisa dijadikan tolak ukur kesalahan. Sementara soal selera pembaca, banyak hal yang membentuknya, mulai dari memang keinginan pembaca atau memang sudah iklimnya seperti itu, ingat hukum dasar ekonomi pasar terbentuk karena penawaran dan permintaan.

Edukasi

Lalu apa yang harus dilakukan? Edukasi. Sudah saatnya kita mulai belajar apa itu Responsible Tourism dan mungkin mulai belajar menjadi Responsible Travel Writer yang bisa memberikan tulisan-tulisan yang mendidik bagi pembaca. Sudah saatnya dunia literasi perjalanan di Indonesia beralih ke tulisan-tulisan yang mendidik, yang memberi pemahaman, tidak semata-mata hanya sebuah panduan perjalanan atau cerita keindahan saja.

Hal ini sudah penting untuk dilakukan, karena semakin lama kondisi tempat – tempat wisata populer makin memprihatinkan. Ada semacam siklus yang menjadi kekhawatiran saya dan sepertinya siklus ini karena ledakan dunia perjalanan yang menyebar bak virus. Bila diamati siklus itu begini : tempat tak terkenal – dianggap surga baru – diekspos – dikunjungi – rusak – ditinggalkan. Dan siklus ini sudah menghinggapi beberapa tempat, terutama yang kemudian menjadi tempat mass tourism. Maka kita tinggal menghitung waktu, ini bom waktu yang akan meledak. Apakah sebuah tempat wisata akan konsisten indah dan menyejahterakan masyarakatnya atau sebaliknya.

150971_4815454783200_1402274053_n
Ada Surga Ada Neraka
Jalan Rusak sebelum Talaga Bodas

Mungkin ini perasaan saya saja, tapi dunia perjalanan memang sedang meledak, dimana semua ingin turut ambil bagian, semua ingin disebut pelancong, pejalan, traveler, backpacker, wanderer atau apalah itu namanya. Ramai-ramai menulis di blog, share di social media, eksplorasi tempat baru nan surgawi sampai pada satu titik tempat tersebut ramai luar biasa. Namun ketika tempat itu kemudian rusak, semua seolah pergi, hilang, tak mau disalahkan dan kemudian justru saling menyalahkan satu sama lain, tanpa membuat solusi satupun. Hanya demi kejayaan pribadi? Mmm. mungkin.

Tapi sudahlah, tak ada hentinya membahas itu. Edukasi dalam perjalanan adalah hal penting yang harus segera dilakukan, sudah saatnya para penulis menyampaikan pesan bertanggung jawab saat menulis tulisan perjalanan pada pembaca, tentunya dengan gayanya masing-masing. Pembaca juga harus mau belajar dan semakin pintar memilih mana tulisan yang bagus mana yang tidak, bila perlu ikut mengkritisi tulisan-tulisan para Travel Writer yang banyak beredar. Sudah saatnya kita membuka era baru tulisan perjalanan yang bertanggung jawab dan mencerdaskan.

Seperti apa rumusan yang ideal seorang Responsible Travel Writer itu sendiri? Ada seorang Travel Writer dari Indonesia yang mungkin bisa menjadi rujukan, Yudasmoro. Dalam bukunya yang berjudul Travel Writer, Yudasmoro menjelaskan berbagai macam ilmu yang seharusnya bisa diterapkan untuk menjadikan sebuah tulisan itu adalah tulisan perjalanan yang bertanggung jawab. Setidaknya ada beberapa intisari yang bisa dipetik yang bisa diambil dari buku Yudasmoro.

Pertama, Yudasmoro dari lama sudah menekankan bahwa menulis perjalanan seharusnya bisa dibebaskan dari hanya sekedar menulis tentang pengalaman visual saja. Kemudian soal menulis perjalanan adalah soal menuliskan fakta-fakta yang dilihat, apa-apa yang dialami sepanjang perjalanan, bukan hanya menonjolkan promosi sebuah tempat wisata. Kemudian Yudasmoro menyarankan agar memberikan sisipan edukasi dalam setiap tulisan-tulisannya. Edukasi mengenai bagaimana seharusnya bersikap di suatu tempat yang dikunjungi, tentang kapan harus berkunjung dan bagaimana harus bersikap. Yudasmoro juga mengajarkan bahwa menulis perjalanan juga bukan soal yang bagus-bagus saja, namun juga harus berani menuliskan hal-hal yang jelek, kurang pantas atau beragam kekurangan yang ditemui. Hal ini akan menjadikan sebuah tulisan perjalanan adalah sebuah tulisan perjalanan yang bagus, kuat dan objektif.

Lalu Bagaimana?

Selanjutnya adalah bagaimana seharusnya untuk memenuhi kategori Responsible Travel Writer itu? Sesungguhnya saya juga tidak tahu. Belum ada penjelasan yang gamblang tentang itu, kemudian banyak juga sesama penulis yang menganggap pengkategorian Responsible Travel Writer terlalu mengada-ada dan menjurus justifikasi. Saya pikir ada benarnya juga, bisa membuat orang malas menulis karena sedikit-sedikit ada penghakiman dan tuntutan tanggung jawab atas tulisannya.

Kita memang harus arif melihat ini, tidak mungkin menuntut orang lain menulis sesuai kemauan kita, tulisan adalah perkara pikiran masing-masing orang. Tapi setidaknya selalu ada jalan untuk lebih arif memandang banyak hal, saya percaya seorang pejalan yang sudah lama melakukan perjalanan pasti bisa menerima hal – hal baru dan menjadi bijak memandang segala sesuatu. Setidaknya itu bisa diterapkan dalam tulisan-tulisannya.

Saya sendiri bersikap bahwa sebagai penulis saya harus memiliki rambu-rambu saat menulis, setidaknya untuk diri saya sendiri agar setidaknya  saya bisa bertanggung jawab atas tulisan saya sendiri. Berikut beberapa rambu-rambu yang saya pegang saat saya menulis sesuatu, sesuatu yang saya anggap idealisme dalam menulis :

1. 5 W + 1 H

Penulis perjalanan sebenarnya adalah jurnalis juga di mata saya. Mereka memberitakan peristiwa dan perjalanan yang sedang dilakukan. Maka seharusnya seorang penulis perjalanan juga memegang prinsip-prinsip dasar jurnalisme Who, What, When, Where, Why + How.

2. Jujur dan Objektif

Kejujuran dalam tulisan perjalanan adalah elemen terpenting. Seorang penulis perjalanan seharusnya memberikan apa yang ia alami dan apa yang ia temui ya seperti apa adanya, tanpa bumbu tambahan atau menghilangkan satu hal pun. Kejujuran dalam menulis memberikan pintu dalam kebenaran tulisan, selaras dengan Yudasmoro bahwa tulisan perjalanan adalah tentang bagaimana memberikan fakta dalam perjalanan. Ketika saya menemui hal bagus akan saya tulis bagus, namun ketika bertemu hal yang kurang baik akan saya tulis kurang baik.

Objektif dalam kacamata saya berarti saya harus berani memberikan 2 sudut pandang dalam tulisan-tulisan saya. Saya mencoba untuk tidak terpaku pada satu sudut pandang saja, mengingat tulisan itu bisa menjadi sebuah ajakan, bisa menjadi pemicu orang untuk berkunjung. Akan sangat berbahaya jika hanya memberikan satu sudut pandang, pembaca akan turut terpaku pada satu sudut pandang tanpa mau mencari sudut pandang baru.

Katakanlah ketika menulis suatu objek, saya akan mencoba melihat dari kacamata turis, tapi saya juga mencoba melihat dari kacamata orang lokal. Setidaknya bagi saya dengan bersikap seperti itu saya bisa menghasilkan 2 sudut pandang yang berbeda yang semoga bisa dipahami oleh pembaca.

3. Observasi dan Verifikasi.

Pendekatan observasi bisa sangat banyak, bisa dengan observasi lewat sumber-sumber bacaan, observasi langsung di lapangan ataupun dengan wawancara. Bagi saya observasi juga berarti mengamati hal-hal sampai detail. Selain itu saya juga mencoba melihat apa yang mungkin tidak dilihat banyak orang. Karena kebanyakan tulisan saya bersifat sangat personal, maka saya mencoba mengobservasi sampai hal terkecil tentang sesuatu yang saya temui saat di perjalanan. Observasi juga bisa digali dengan banyak-banyak membaca referensi atau banyak-banyak bertanya dengan orang lokal.

Mengenai dalamnya observasi dalam perjalanan sebenarnya bisa dibaca ketika nanti sebuah tulisan itu muncul. Sebagai pembaca jika sekian lama membaca banyak tulisan perjalanan pasti akan mengerti mana-mana saja penulis yang “dalam” dalam melakukan observasi atau yang hanya selewat saja, lebih jauh lagi kita bisa menerka-nerka mana penulis perjalanan yang dalam perjalanannya bisa menikmati begitu detail perjalanannya, atau penulis perjalanan yang hanya datang sebentar lalu pulang.

Mengenai verifikasi, saya membaca artikel dari Andreas Harsono, 9 elemen Jurnalisme. Dalam tulisannya, Andreas menjabarkan konsep Verifikasi yang ditawarkan oleh Bill Kovach dan Tom Rosentsiel :

  • Jangan menambah atau mengarang apa pun.
  • Jangan menipu atau menyesatkan pembaca.
  • Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase.
  • Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri.
  • Bersikaplah rendah hati.

Saya kira konsep diatas sudah cukup dijadikan pegangan untuk menjelaskan apa itu verifikasi.

4. Empati

Empati bagi saya adalah rambu moral bagi saya saat menulis. Saya selalu berusaha untuk menangkap perasaan mereka yang membaca tulisan saya ataupun menangkap empati subyek tulisan saya. Empati juga berarti saya memikirkan tentang apa efek yang akan ditimbulkan dari tulisan-tulisan saya. Tapi empati juga berarti bagaimana saya menuangkan perasaan yang sesungguhnya saya alami atau bisa jadi empati. Empati juga berarti bagaimana menghormati kearifan dan budaya lokal.

Sikap empati ini bagi saya sendiri akan menentukan bagaimana saya harus menulis, alur dan sudut pandang yang digunakan. Lebih jauh lagi, empati akan membuat saya bisa menentukan apa saya harus menulis tentang suatu hal atau tidak. Kerena tidak semua hal pantas untuk diberitahukan bukan?

5. Kritis Dan Mau Dikritisi

Bagi saya bersikap kritis itu perlu. Banyak-banyak mempertanyakan suatu hal itu sebuah kehalusan. Sebelum menuliskan suatu hal, sikap kritis selayaknya dijadikan pegangan. Terkadang kritis berarti tidak mudah percaya dengan apa yang dilihat atau diutarakan orang sehingga saya terpacu untuk mencari sudut lain atas apa yang diutarakan tadi. Maka banyak-banyaklah bertanya dan banyak-banyak membaca agar sikap kritis ini terus terjaga.

Bersikap kritis juga berarti harus selalu bisa membuat analisis tentang suatu hal yang ditemui, bagaimana ini bisa terjadi, bagaimana seandainya itu terjadi dan apa dampaknya. Selanjutnya sikap kritis ini seharusnya juga menimbulkan jawaban yaitu solusi akan permasalahan yang saya kritisi. Sehingga saya mencoba tidak hanya mengkritisi suatu hal, tapi juga memberikan solusi.

Kemudian seorang penulis juga harus dengan lapang menerima kritik akan tulisannya. Bagi saya penulis yang baik bukanlah yang tulisannya dibaca banyak orang, atau tulisannya indah, tapi penulis yang mampu menerima feedback demi memperbaiki kualitas tulisannya. Saya percaya orang yang banyak melakukan perjalanan pasti memiliki hati yang lapang untuk menerima kritik.

6. Tidak Terpaku Pada Objek dan Destinasi

Saya setuju pada Yudasmoro bahwa tulisan perjalanan tak melulu soal tempat atau kisah dari a ke b ke c dan berakhir ke d dari pagi sampai sore. Menulis perjalanan bisa juga tentang sosok yang ditemui atau tentang apa yang dirasakan saat perjalanan. Bisa jadi menulis perjalanan adalah menulis tentang bagaimana kehidupan sopir bis yang saya tumpangi di perjalanan bukan?

Perjalanan bagi saya memang bukan melulu soal destinasi dan saya sarankan juga agar memandang bahwa perjalanan itu lebih dari sekedar destinasi, apalagi adu gengsi. Tidak semua destinasi bisa dituliskan, ada juga destinasi yang seharusnya kita simpan diam-diam dan cukup dinikmati sendiri.

7. Informasi Yang Edukatif.

Informatif tidak melulu soal saya menginap dimana, saya naik apa, saya bayar berapa, saya tiba jam berapa, saya duduk di kursi berapa. Informatif juga bisa berarti di tempat yang saya kunjungi ada pantangan apa, atau kapan sebaiknya saya harus berkunjung. Informatif juga bisa berarti dimana saya menjelaskan aturan yang berlaku, atau bagaimana saya harus bersikap saat bertemu orang lokal.

2021_4782454918224_63200626_n
Pelatih orkes musik Tionghoa di Pontianak.
Dalam perjalanan di Pontianak saya belajar tentang Bhinneka Tunggal Ika

Itu tadi beberapa yang saya pegang dalam menuliskan tulisan perjalanan. Kemudian ada beberapa hal yang berusaha mati-matian saya hindari dalam menulis perjalanan.

1. Hiperbolis

Entah kenapa saya langsung tidak menuntaskan membaca tulisan perjalanan yang hiperbolis. Hiperbolis dalam menulis bagi saya adalah cara halus berbohong kepada pembaca. Tulislah pengalamanmu seperti apa yang ditemui, jangan ditambah, jangan dikurang. Hiperbolis mungkin akan membuat tulisan seseorang bombastis, tapi hiperbolis juga lama-lama mendatangkan kejengahan.

Saya juga mencoba untuk menghindari deskripsi yang berlebihan seperti menggunakan kosakata surga, walaupun itu memang susah. Tapi saya ingin bertanya, seharusnya jika bisa menggambarkan surga seorang penulis tentunya sudah pernah masuk surga bukan?

2. Eksploitasi

Dalam sebuah workshop fotografi saya diminta untuk hunting street photography namun dilarang mengambil gambar orang miskin, kaum papa dan pengemis. Pengisi workshop meminta agar saya menghormati keberadaan mereka tanpa mengeskploitasi sebagai objek foto, menghormati mereka dengan tidak memotretnya.

Saya sependapat dan ini bisa dimasukkan dalam konteks penulisan. Dalam penulisan tak seharusnya kita mengeksploitasi berlebihan sebuah objek wisata. Eksploitasi ini bisa menjadi bom waktu yang justru mencelakakan. Menelanjangi sebuah tempat wisata seolah semua orang harus kesana juga bukan sikap yang bijak. Yang benar adalah bagaimana memberitakan tempat wisata ini layak dikunjungi dan bagaimana sikap saat harus berkunjung, itulah yang seharusnya harus dikedepankan.

Nah, itu tadi beberapa poin yang saya jadikan pegangan ketika menulis perjalanan. Saya pernah dicurhati oleh beberapa orang yang merasa bersalah karena artikelnya membuat orang banyak datang dan ujung-ujungnya malah mengakibatkan kerusakan lingkungan. Tapi dalam hati saya, mereka tidak sepenuhnya bersalah, yang salah adalah semuanya, maka sebaiknya semua harus berubah dan saling memperbaiki diri saty sama lain.

Dengan poin-poin tadi setidaknya saya memiliki rambu-rambu moral dalam menulis. Saya bisa berpikir panjang sebelum mulai menulis dan semoga bisa terus berpikir apa efek tulisan saya nantinya.

Penutup

Saya menulis ini karena mengalami pedihnya bagaimana Borobudur yang dieksploitasi berlebihan, ribuan orang yang membuat jalanan macet setiap minggu, atau mengalami bagaimana upacara suci Waisyak sudah sangat dinodai yang sekarang tak lebih hanya perasaan lampion tahunan. Borobudur yang sekarang nilainya tak lebih dari batu bertumpuk yang dipotret dan dipanjat stupanya dengan seenaknya.

Saya merasakan eksploitasi ini sudah sangat merusak, sampai – sampai saya sudah setahun lebih tidak mengunjungi Borobudur yang jaraknya hanya 10 menit dari rumah. Jengah, saya merasa perlu menulis ini karena saya juga korban bagaimana eksploitasi suatu tempat wisata baik lewat tulisan ataupun video benar-benar merubah tatanan sebuah tempat yang harusnya dihormati. Saya sudah sampai pada satu titik jika ada teman ke Magelang saya tidak pernah menyarankan untuk mengunjungi Borobudur.

Saya tidak ingin menyalahkan travel writer, karena saya juga sedang belajar travel writer. Saya juga tidak mau jika kerusakan tempat wisata ditimpakan kepada travel writer saja karena faktanya pada beberapa kasus, pengunjung yang seenaknya dan pengelola yang mata duitan adalah faktor utama yang membuat kerusakan. Sebenarnya tanpa tahu apa itu Responsible Travel Writer, ada banyak sekali penulis-penulis yang bertanggung jawab, objektif dan jujur. Penulis-penulis perjalanan yang baik, yang mengambil perjalanan dan memberi pesan kepada para pembacanya dan mereka jelas tidak bisa disalahkan. Mereka berjalan di rel yang benar untuk membuat perubahan pada dunia penulisan perjalanan.

Saya menulis ini bukan bermaksud menggurui, toh jika saya dinyinyiri ya silakan, karena saya belum memiliki karya. Masih banyak penulis yang lebih hebat dari saya yang sudah melanglangbuana kemana-mana. Saya sebenarnya tak mau peduli dengan ribut-ribut travel writer atau apalah. Tapi saya merasa perlu menulis ini karena saya merasa bahwa ada sebagian penulis perjalanan sekarang sudah makin tidak memiliki hati dan seenaknya saja mengeksploitasi suatu tempat dan saya ingin mengajak agar mari belajar untuk lebih arif saat menulis perjalanan, agar lebih bijak saat memandang sebuah objek wisata.

Memang sampai sekarang belum ada penjelasan dan kerangka pendekatan yang pas untuk menjelaskan apa itu Responsible Travel Writer. Maka saya sendiri belajar untuk lebih bertanggung jawab saat menulis, memikirkan bagaimana dampak tulisan yang terbit ini akankah mempengaruhi tempat tersebut, memikirkan efek jangka panjang dari tulisan yang terbit, memikirkan apakah masyarakat siap menerima efek publikasi tentang suatu tempat wisata atau tidak. Sehingga saya mencoba untuk lebih bertanggung jawab dengan tulisan-tulisan saya dan paling tidak meninggalkan manfaat bagi tempat yang saya kunjungi, walaupun mungkin sangat sedikit sekali.

Pada akhirnya saya tak akan bisa mengatur bagaimana cara menulis seseorang, tapi setidaknya saya bisa memberikan gambaran bagaimana sebuah tulisan bisa mengakibatkan efek berantai yang dahsyat. Bahwa mass tourism yang tak terkendali hasilnya adalah bencana, komersialisasi tak berhati, ancaman kerusakan lingkungan dan hanya menguntungkan pemodal. Dari kasus-kasus di atas dan apa yang saya alami sendiri, nantinya saya berharap akan lahir lebih banyak penulis akan lebih bertanggung jawab dalam menulis sehingga pembaca pun akan menjadi pejalan yang terdidik dan memiliki pemahaman yang baik. Penulis perjalanan yang tidak hanya mengundang pembaca untuk datang, tapi juga mendidik pembaca.

Jika memang itu bisa memberikan perubahan dan memberikan edukasi tentang bagaimana seharusnya berwisata yang tidak merusak. Kenapa kita tidak belajar untuk menjadi Responsible Travel Writer. Jika Responsible Tourism sudah mulai menjadi acuan, maka bagi saya kenapa tidak Responsible Travel Writing itu menjadi sebuah sikap?

Jika memang keadaan tidak berubah. Pada akhirnya saya mungkin akan mengikuti nasihat seorang teman, “Mungkin pejalan yang paling baik adalah pejalan sunyi, hanya menjadikan perjalanan hanya untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain. Hanya menikmati perjalanan tanpa perlu memberitahu semua orang bahwa dia sedang melakukan perjalanan.”

Tabik.

Baca juga : Sri Anindiati Nursastri, Menyalahi Travel Writer, Kurang Kurang Bijak.

Referensi :

Travel Writer, Yudasmoro, 2o12. Resensi Goodreads.

Capetown Declaration on Responsible Tourism, 2002.

Andreas Harsono, Sembilan Elemen Jurnalisme. 

 Terima kasih Arman Dhani, Acen Tri Susanto dan Sri Anindiati Nursastri untuk diskusinya.

 

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

28 KOMENTAR

  1. menggugah sekali tulisannya kak chan. ya, kita memang tidak bisa memaksa seseorang menulis sesuai keinginan kita, tetapi setidaknya kita lah yang memulai untuk menulis apa adanya tentang sebuah destinasi wisata. apa yang harus dan apa yang tidak boleh dilakukan, dll.

  2. apa ya, masalah kebersihan sama menjaga lingkungan sepertinya memang bukan budaya yang kurang populer di negara ini. Enggak cuma di dunia traveling aja lho, tapi dimanapun 🙂 pernah ada acara yang diadakan kedutaan negara lain di jakarta, dan disana disediain tempat sampah yang banyak banget. toh tetep aja pada ngebuang sampahnya ngawur 🙂 Enggak ada yang perlu banyak nyalahin sih, tetapi harusnya banyak – banyak ngingetin aja, gimana cari solusinya. Buat penulis traveling, mungkin menyisipkan edukasi ditiap tulisannya juga ide bagus 🙂

  3. Dunia traveling kita emang harus lebih banyak edukasi ya. Bukan hanya buat para travel writer, tapi juga semua yang bersinggungan dan berkecimpung dalam dunia traveling ini. Terutama sih harus mengedukasi diri sendiri sebagai traveler.

  4. Kupikir, kata dasarnya dari responsible. Tanggungjawab itu soal hati & pikiran. Perlu diskusi dg keduanya sebelum kita menulis. Kamu sepertinya selalu melalui tahap itu. Keep the good, Chan!

    Oh ya, kalo boleh usul, gambar darah, luka terbuka & kematian dalam konteks takbiasa, baiknya dikaburkan di bagian2 tertentu yang bisa membuat orang yang melihatnya mual atau bisa berdampak negatif terhadap perkembangan psikologis anak yang melihat. Meski bukan manusia.

    Trims sudah berbagi!

  5. Senang membaca tulisan ini, karena diskusinya bergulir dari “apakah travel writer bertanggungjawab untuk kerusakan alam” menjadi “bagaimana seorang travel writer bisa menulis dengan lebih bertanggungjawab”. Jadi ikutan mikir, apa lagi ya contoh-contoh tindakan travel writing yang berkesadaran sosial?

    • kak dustysneakers..
      ada banyak sebenarnya kesadaran kolektif untuk berwisata dengan memberi manfaat pada orang banyak..hanya gerakan seperti ini masih belum banyak diketahui orang banyak. 🙂
      di Bandung ada komunitas Bookpacker. Backpacker dengan meninggalkan buku bacaan pada tempat yang dikunjungi.
      di Jogja ada komunitas 1 Buku Untuk Indonesia, dimana sambil traveling mereka menganalisa apakah tempat tersebut layak diberi sumbangan buku sd dibikinkan perpustakaan.

  6. Salam kenal Mas. Memang saat ini dunia wisata sedang booming ya. Seakan semua berlomba untuk mendapat kata ‘traveller’. Semoga saja membawa kebaikan 🙂
    Kalo saya memang belum bisa menulis reportase, nulis banyak curhatnya 😀

  7. Terkesan sangat idealis mas..
    Tapi saya sangat suka tulisan ini 🙂

    Bener-bener mature 🙂 Bukan menulis karena emosi semata, bukan karena ambisi semata 😉

    Terus berkarya mas 😉

  8. Wah, terimakasih y mas atas tulisannya. Sangat menginspirasi. Saya cukup terkesan. Kalau boleh saya ingin tahu lebih banyak mengenai responsible travel writer dari mas. Saya juga tinggal di sekitar borobudur.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here