DSC_0019

Mari mengingat sejenak. Kapan terakhir kita berjalan kaki mengelilingi kota sendiri? Kapan terakhir kali melangkahkan kaki menyusuri jalanan kota kita sendiri? Kapan? Kita mungkin boleh bangga telah menginjakkan kaki di berbagai tempat, tapi coba ingat lagi, kapan kita meresapi kota kita sendiri? Tempat asal kita, tempat bermain di masa kecil, halaman belakang tempat kita bercengkerama sampai bertumbuh besar.

Kata orang bijak, perjalanan dimulai dari halaman belakang. Dan jika kota asal adalah halaman belakang kita, apakah kita masih mengingatnya? Seberapa dalam ingatan kita akan kota sendiri? Sebelum ingatan justru lebih diluruh nama jalanan yang asing, hostel-hostel yang disinggahi, tempat kuliner yang ditemui dan angkutan-angkutan murah di kota tempat kita melabuhkan perjalanan. Seberapa jauh kita pergi, maka seberapa dalam pula kita memahami perubahan di kota sendiri?

Sesungguhnya perubahan itu mutlak adanya, dan tugas memorilah yang merekamnya. Dan jika kita tidak kembali merefresh memori, maka lambat laun menghilang. Jika itu terjadi, maka begitu kejamnya kita melupakan halaman belakang kita sendiri. Begitu bukan? Maka demi menjaga ingatan itu, perlu untuk kembali melangkahkan sudut-sudut kota. Mengasah memori untuk hadir kembali, sekaligus merekam perubahan yang terjadi selama kita meninggalkan halaman belakang dan menikmati dunia yang jauh di luar sana.

Memang untuk menikmati suatu kota paling tepat adalah dengan berjalan kaki. Maka itulah yang saya lakukan, berjalan kaki menyusuri garis kota yang membentang dari ujung ke ujung. Garis yang membelah kota saya, Magelang, bukanlah garis imajiner, bukan pula garis jalan, tapi adalah saluran air yang membelah Kota Magelang persis di tengah-tengah. Melalui pemukiman, pusat bisnis sampai daerah tak bertuan.

Garis pembelah kota yang tak lazim ini rupanya buah pikir para meneer Belanda yang dulu pernah singgah di Magelang. Garis itu bernama Boog Kotta – Leideng, yang oleh lidah inlander dilafalkan seenaknya “Buk Kuto Ledeng”. Jika orang jawa kemudian menyebut “Buk” sebagai tembok saluran air,  maka sesungguhnya itu adalah misspelling dari kata boog yang dilafalkan para meneer Belanda.

Saluran air ini dirancang dengan serius oleh pemerintahan Kolonial, yang waktu itu memang berkepentingan di Magelang. Dulu Magelang difungsikan sebagai kota tempat pembesar pembesar Belanda beristirahat dan membangun banyak tetirah mewah.  Sementara itu di sisi lain, Magelang difungsikan sebagai kota militer. Benteng dari Jawa Tengah, seandainya nanti Jawa/Jogja diserang dari pesisir atau dari udara.

Mengingat pentingnya Magelang dan rancangan serius saluran air di Magelang ini. Sesungguhnya pada satu titik, saya atau bahkan kita memang harus jujur Meneer-meneer Belanda lebih bagus dalam membuat perancangan suatu kota, menata kota sekaligus melestarikannya. Walaupun pedih untuk diucapkan, tapi bangsa kita justru tidak mampu merawat mahakarya tata kota meneer-meneer Belanda tersebut. Maklum, euforia pekik Merdeka membuat bangsa kita lupa diri dan menganggap apa yang dibuat oleh meneer Belanda adalah hal yang salah dan lalu harus dibabat habis tak bersisa. Hasilnya? kesemrawutan. Sedikit kota yang tidak semrawut di Indonesia. Sedikit kota yang memiliki tata kota yang baik, pengaturan residen yang teratur sampai memikirkan hal terkecil seperti saluran air.

DSC_0010

Saluran ini dibangun pemerintahan kolonial untuk sebagai sarana irigasi, penggelontor limbah rumah tangga, saluran air untuk sistem pemadam kebakaran dan cadangan air untuk lokomotif uap yang biasanya berhenti di Stasiun Magelang waktu itu. Dari sekian fungsi tersebut sekarang tak ada yang bersisa. Mungkin sekedar saluran biasa dan justru dijadikan tempat sampah raksasa oleh orang – orang yang tidak bertanggung jawab.

Titik mula saluran ini ada di seputaran Menowo, dibuat dengan memotong aliran Kali Manggis, saluran irigasi utama di Magelang yang juga dibuat oleh pemerintahan kolonial. Maka dari titik mula itu juga perjalanan Jelajah Plengkung bermula. Perjalanan ini total jenderal berjarak 12 kilometer, setidaknya itu yang tercatat di aplikasi di smartphone saya. Dimulai dari Menowo, berjalan mengikuti saluran air melalui alun-alun Magelang sampai jauh ke daerah Karet yang menjadi titik akhir saluran ini.

Sebenarnya tidak ada yang menarik jika hanya sekedar berjalan menyusuri aliran waktu. Membuang waktu dan melelahkan. Namun perjalanan ini justru menarik ketika dalam perjalanan bisa menangkap momen-momen yang membuat terperangah. Salah satunya adalah kenapa saluran ini oleh masyarakat Magelang justru tidak dikenal, beda dengan Kali Manggis. Justru yang dikenal dengan saluran ini adalah adanya Plengkung / terowongan yang memotong saluran ini.

DSC_0044

Untuk menggambarkan Plengkung, cobalah bayangkan viaduct namun dengan bentuk yang sederhana. Bangunan ini memang secara bentuk dan fungsi memang bentuk sederhana dari viaduct yang diperkenalkan Bangsa Romawi. Memang fungsinya saluran air, dengan konstruksi yang dibuat melengkung. Maka oleh orang jawa disebut Plengkung, dari bentuk terowongan lengkung itu sendiri.

Sebenarnya Plengkung ini cukup unik karena tidak direncanakan dibuat langsung pada saat saluran ini dibuat. Pertama saluran ini dibuat adalah dengan membuat bukit buatan dan diatasnya dibuat saluran air ini. Ternyata pada perkembangannya ada perubahan proses pengembangan Kota Magelang yang membutuhkan akses baru dan memotong jalur saluran air ini. Pemerintah Kolonial kemudian membuat terowongan di bawah saluran air ini. Sehingga akses bisa terhubung tanpa harus mengganggu saluran air ini.

Karena proses pembuatan Plengkung ini sifatnya insidental dan tidak dibangun dalam satu waktu, namun mengikuti perkembangan kota. Pada akhirnya desain konstruksi ketiga Plengkung ini berbeda-beda, dan waktu pembuatannya juga berbeda-beda. Ketiga Plengkung tadi adalah Plengkung Baru, Plengkung Lama dan Plengkung Tengkon. Ketiganya memiliki desain yang berbeda dan waktu pembuatan yang berbeda pula.

Selain soal konstruksi Plengkung, ada detail lain yang ditangkap yaitu ditemuinya 3 menara pada jalur saluran lain. Ketiga menara ini adalah bagian dari sistem mitigasi bencana yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial. Awalnya dibuat sebagai sirine bencana dan tanda adanya letusan gunung berapi, ataupun bencana lain seperti kebakaran. Namun pada perkembangannya, sirine ini juga berfungsi sebagai penanda jam malam dan juga sirine adanya serangan pada Kota Magelang. 2 fungsi terakhir ini dilakukan pada era penjajahan Dai Nippon. Memang lokasi menara sirine ini strategis, berada di ketinggian dan suaranya menjangkau hampir seluruh sudut kota. Hanya sekarang menara ini teronggok tak berguna sebagai besi tua. Tidak difungsikan lagi seperti fungsinya semula dan bahkan hampir menjadi jarahan pada pencoleng logam.

DSC_0024
Pemandangan dari Plengkung, daerah Potrobangsan.
DSC_0061
Pemandangan dari Plengkung, daerah Potrobangsan. Tampak Sumbing di kejauhan.

Berikutnya adalah bagaimana saluran air ini melalui kawasan pemukiman di Magelang. Dulu Pemerintah Kolonial membuat segmentasi pemukiman di Magelang. Bisa jadi ini adalah bentuk segregasi halus yang dibuat Pemerintahan Kolonial. Dari saluran air ini, kita dibawa melalui area perumahan militer, kawasan bangsa arab, kawasan bangsawan, kawasan orang-orang Tionghoa sampai yang terakhir adalah kawasan pribumi. Jejak itu terasa jelas ketika menyusuri saluran air ini yang melalui kampung-kampung tilasan segmentasi pemukiman di era Kolonial.

Menyedihkan adalah ketika bentuk-bentuk bangunan dari masa kolonial yang dilalui saluran air ini sudah hampir hilang jejaknya dan kalah pada kapitalisasi. Tidak ada penghotmatan pada nilai bangunan lama, dan menyerah pada iming-iming uang besar dan merubah bangunan tua menjadi bentuk yang lebih menguntungkan secara bisnis. Sehingga bentuk segementasi perumahan tadi sudah raib hilang. Padahal jika dilihat dari peta Magelang awal 1900-an, terlihat jelas bagaimana pengaturan residen ini begitu detail dan mempertimbangkan perkembangan kota itu sendiri. Sementara sekarang makin semrawut, tak tertata dan tak direncanakan. Maaf saja tapi itulah kenyataan pahit bangsa kita. Tak mampu merawat sesuatu yang sebenarnya sudah bagus dan lebih memilih untuk menghancurkan hal-hal bagus di masa lalu dan membuat hal baru yang justru tidak cocok sama sekali.

Ada juga pemandangan pilu di tengah penyusuran saluran air ini, yaitu bertemu dengan kaum papa yang kurang beruntung. Mereka hidup di pinggir saluran air, dengan rumah semi permanen beralas kardus beratap kardus. Air di saluran ini dijadikannya air minum, untuk memasak, mencuci, mandi sampai buang air. Kaum papa ini tidak terlihat, tidak terdeteksi, terpinggirkan dan memilih untuk tidak menampakkan diri sampai kita melihat dengan mata kepala sendiri.

Dari saluran air ini juga ada kenyataan bahwa saluran ini diabaikan begitu saja. Kerusakan yang dibiarkan pemerintah, ketidakpedulian akan kebersihan saluran air oleh masyarakat sekitar. Ketidakpedulian akut dimana makin ke hilir saluran air, kita akan semakin banyak melihat tahi manusia bertebaran di saluran air, belum lagi limbah rumah tangga yang berbuih putih. Disini saya mencatat bahwa ketidakpedulian ini sudah sangat mengganggu, masyarakat beranggapan bahwa limbah bisa dibuang di saluran air ini, dan masyarakat lupa bahwa ada orang lain yang hidup dan tergantung dari saluran air ini.

DSC_0064

Bagi saya penyusuran saluran air ini tak sekedar agenda rutin komunitas, tak hanya mempelajari sejarah saluran air. Namun jauh itu, dari hasil penyusuran saluran air ini saya menangkap poin-poin perubahan wajah kota, ya, hanya dari menyusuri saluran air. Kita bisa melihat betapa cepat perubahan kota dari lintasan saluran air ini. Mungkin jika hanya selintas lewat tentu tak akan disadari, tapi dengan berjalan, langkah demi langkah dan mata berputar melihat, merekam perubahan dengan pelan-pelan, barulah kita akan sadar betapa kota kita, tempat asal kita berubah sangat banyak dengan sangat cepat. Kota memang akan terus berkembang dan tak bisa dicegah. Hanya saja perkembangan itu akan menuju arah yang semakin kapitalis atau justru tetap mengakomodasi kepentingan-kepentingan lokal. Kota yang berubah secara cepat akan mempengaruhi kultur penduduk kota yang jika tidak bisa disikapi dengan arif akan merusak tatanan masyarakat di kota itu sendiri. Jelajah ini pertanda bahwa banyak kemuraman kota dibalik pembangunan kota yang masif.

Jelajah ini di mata saya tidak bisa dimaknai dari berjalan kaki dari Menowo sampai Karet, dari pagi sampai siang. Tapi lebih dari itu, jelajah ini adalah pengingat bagaimana kota ini dulu, bagaimana berkembang dan mungkin sebagian prediksi bagaimana kota ini di masa yang akan datang. Dari berjalan dan melihat lebih intim kota sendiri, saya merasa disadarkan bahwa kota ini sebenarnya sedang menunjukkan gejala sakit, menunjukkan perubahan yang tidak sehat dan butuh disadarkan dengan kondisi di masa lalu yang justru lebih baik. Maka dari jelajah ini saya belajar, jelajah ini pengingat untuk kembali melihat bagaimana halaman belakang saya yang asri, dulu. Dan membandingkannya yang berubah sangat banyak, di masa sekarang. Dan sayangnya itu sangat memprihatinkan.

Tabik.

NB :

Terima kasih untuk Kota Toea Magelang yang sudah dengan sangat sukses menyelenggarakan acara ini.

DSC_0038

DSC_0012

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

11 KOMENTAR

  1. Seperti anonim yang sering berkata, “Sejauh apapun kamu pergi, perjalanan terjauhmu hanyalah ‘kepulangan’.”

    Aaaaaaaaaaakkkkkkkk jadi pengen mudiiiiiiiiiiiiiiiik… :(((

  2. Nenek saya melahirkan ketujuh anaknya di Magelang. Di sebuah rumah di jl wahidin.

    Di belakang rumah terbentang plengkung yg legendaris ini

  3. Iseng blogwalking ke sini, lalu mendapati tulisan mengenai kota masa kecil itu ternyata tak kalah menyenangkan dibanding membaca tentang tempat-tempat lain yang mungkin asyik dikunjungi di masa mendatang. Salam kenal, Mas! 🙂

  4. ealah, alumni gladiol high school tho. sama dong, cuma beda angkatan. aku 3 tahun sekolah di spenada, tiap skolah lihat saluran ini dari bawah, penasaran kayak apa bentuknya, tapi sampe skrg masih bingung, naiknya lewat mana ya kalo dari spenada itu

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here