IMG_0906

Beruntunglah saya berasal dari desa, dimana nilai-nilai modernitas tak semuanya menggerus apa yang desa punya. Dan disaat lebaran ini, saat mudik tiba, adalah saat dimana saya bisa mengecap kembali kehidupan desa yang sesungguhnya. Kultur, budaya sampai kuliner khas desa yang masih dipertahankan sampai sekarang.

Desa – desa di Jawa dalam kehidupannya mungkin merupakan unit sosialis yang paling kecil. Dimana kesadaran kolektif tumbuh dan berakar dengan kuat tanpa paksaan, namun lebih kepada rasa untuk kepentingan bersama. Seperti itulah.

Hal ini bisa dilihat saat menjelang lebaran, dimana kaum perempuan bersibuk ria di dapur mereka masing-masing. Disini kami tidak mengenal apa itu nastar, putri salju, kastengel dan segala penganan modern khas hari raya, makanan itu di desa kami hanyalah makanan tambahan dan tidak repot-repot dibuat sendiri, namun pasti dibeli di toko roti di kota terdekat.

Perempuan di desa kami sibuk berkutat di dapur untuk membuat makanan tradisional yang wajib ada saat lebaran tiba. Bersusah payah berlama-lama di depan tungku kayu untuk membuat apa itu Krasikan, Wajik, Jenang, Rempeyek dan aneka penganan lainnya seperti Koyah, Untuk-untuk Cacing (karena bentuknya mirip rumah cacing), sampai Tape Ketan.

Itupun para perempuan tidak membuatnya sendiri, biasanya satu keluarga turun ke dapur walaupun dia seorang lelakipun. Bahkan tak jarang tetangga sebelah turut membantu jika pekerjaannya di rumah sudah selesai, tetangga akan membantu tetangganya yang belum selesai membuat suguhan lebarannya. Kesadaran kolektif yang tumbuh sendiri untuk bersama-sama merasakan kebahagiaan saat lebaran.

Keluarga kami pun begitu, turut membuat makanan khas desa untuk merayakan lebaran kali ini. Dan kali ini keluarga kami membuat Jenang. Jenang, ditempat lain disebut juga dengan Dodol merupakan salah satu warisan kuliner tradisional yang biasanya disajikan di hari raya atau hari-hari istimewa lainnya seperti saat hari panen, hari pernikahan atau perayaan hari besar agama lainnya, Jenang tidak akan absen di meja suguhan.

Membuat Jenang itu prosesnya panjang dan lama. Beruntung semua bahan untuk membuat Jenang tidak perlu dibeli, semua berasal dari sawah sendiri. Kelapa sudah dipetik dari kebun kelapa kami, beras ketan pun begitu, berasal dari sawah keluarga. Mungkin yang memang harus dibeli adalah gula jawa, di pasar terdekat.

Tak ada takaran pasti untuk komposisi bahan. Itulah hebatnya kuliner desa, ukuran komposisi bahan hanya dikira-kira namun menghasilkan hasil yang lezat tak terkira. Untuk membuat jenang komposisi yang lazim adalah begini, 1 kilogram beras ketan, 4-5 kelapa tergantung selera dan 2-3 tangkup gula jawa. Tak ada yang menentukan takaran pasti, tergantung lidah dan selera pembuat. Itulah mengapa rasa Jenang dari satu rumah ke rumah lain pasti berbeda, ada yang aroma santannya pekat, ada yang manisnya pekat, ada yang keras ada yang kenyal. Semua tergantung selera.

Proses panjang membuat Jenang dimulai dari membuat santan. Untuk membuat jenang ada 2 santan yang digunakan, yang pertama adalah santan kanil. Santan kanil adalah santan yang dimasak sampai keluar minyaknya. Sementara yang kedua adalah santan biasa. Pertama adalah memanaskan santan kanil sampai keluar buih minyaknya. Sementara itu beras ketan yang sudah digiling halus menjadi tepung dicampurkan kedalam larutan santan biasa. Setelah santan menjadi kanil, kemudian masukkan campuran tepung ketan – santan tadi kedalam santan kanil tadi.

Beras ketan yang digunakan sebagai bahan Jenang pun beras ketan lokal. Biasanya petani-petani di desa memang menyisihkan sebagian lahannya untuk menanam padi ketan. Misalkan ada 1 petak lahan, dia akan menyisihkan kira-kira seperlima lahannya untuk menanam padi ketan. Padi ketan ini kemudian disimpan untuk cadangan misalkan untuk membuat jenang, tape sampai wajik.

Kembali ke proses membuat jenang, setelah campuran tadi matang benar. Ditandai dengan campuran yang sudah mulai mengental maka dimasukkan gula jawa sebagai bumbu pamungkas, pemanis jenang. Gula jawa tadi tanpa perlu dicacah-cacah, langsung dimasukkan gelondongan. Gula ini akan leleh karena panas dan menyatu dengan ketan dan santan tadi.

Proses terakhir dan yang menentukan dalam memasak jenang adalah proses pengadukan, ini adalah proses paling melelahkan dalam pembuatan jenang dan biasanya dilakukan oleh kaum lelaki. Di desa kami bahkan pengaduk jenang ini adalah orang khusus, tidak bisa orang sembarangan. Proses pengadukan menggunakan tongkat kayu panjang dan berat, selain itu si pengaduk harus kuat berdiri dan mengaduk berjam-jam lamanya dan harus teliti mengatur bara api di tungku kayu.

Untungnya orang-orang desa kami masih penganut fanatik tungku kayu. Untuk olahan kuliner yang bersifat spesial. Orang-orang desa menggunakan tungku sebagai alat masak utama, sementara kompor minyak atau gas hanyalah komplimen. Tungku kayu, menurut orang-orang desa menjamin bahwa panas akan rata lebih cepat sementara masakan akan beraroma lebih kuat dan lezat.

Pengadukan ini dilakukan 8-12 jam, tergantung banyaknya campuran jenang yang akan dibuat. Pengadukan harus dilakukan secara kontinyu agar jenang tetap kental dan tidak mengeras menjadi kerak. Pengadukan juga menjamin bahwa jenang akan menerima panas secara merata dan matang secara sempurna.

Setelah proses pengadukan selesai, biasanya jenang akan berbentuk seperti gumpalan lem raksasa berwarna cokelat. Maka akan diangkat dan ditaruh di baki kayu berukuran besar untuk didinginkan, biasanya akan jenang akan dibentuk menjadi persegi. Bagaimana cara membentuknya? Mudah, tinggal dibentuk karena jenang sifatnya kenyal dan sangat mudah mudah dibentuk.

Proses terakhir adalah mendiamkannya selama 1-2 hari dengan dibungkus sempurna, tujuannya supaya bisa dingin dan mengeras perlahan dengan sempurna. Setelah pendiaman itu, barulah jenang diiris kecil-kecil, dibungkus plastik dan kemudian disajikan di meja tamu untuk santapan lebaran. Penganan legit dan kecil namun perlu perjuangan ekstra besar untuk membuatnya dan tak pernah absen di meja tamu saat lebaran. Itulah seluk-beluk Jenang.

Tabik.

IMG_0908

 

IMG_0904

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

10 KOMENTAR

  1. kalo di jambi, palembang ada yang namanya kue maksuba/ kue 8 jam nonstop
    hasil jadinya kecil paling satu loyang cuma bahan-bahan yang digunakan seabrek.. semisal telur sampe puluhan butir dan pengerjaannya harus ditungguin karena dibuat berlapis

    meski penuh perjuangan dan rawan gagal
    yang herannya setiap lebaran selalu ada
    salut!..

  2. sama kaya di tempatku mas, mBumen :). Jenang makanan wajib Lebaran dan hari spesial lainnya, ngga setiap waktu ada kue macem ini.
    tapi kalo sekarang ada cara yg lebih cepat untuk bisa menghasilkan jenang seperti itu, bedanya dari tepung ketannya yg tidak lagi dimasukkan ke wajan dalam wujud tepung mentah. Tapi tepung tadi dibikin adonan dulu sama santan, trus dibungkus daun pisang, dikukus setengah matang saja, jangan terlalu lama. sementara itu gula merahnya dicairkan di wajan bareng bumbu2 lainnya, baru setelah itu adonan ketan yg udah dikukus tadi dimasukin ke cairan gula merah. proses selebihnya sama, aduk terus sampai halus, kalis, kenyal dan matang sempurna. waktu yg dibutuhkan bisa dipersingkat sampe 4 jam dibanding sama yg tepung ketannya masih mentahan seperti yg diterangkan sama mas Farchan. hasil akhirnya sama, cuma kalo generasi eyang dan simbah-simbah sih katanya tetep memfavoritkan yang prosesnya lebih lama.

    • wah, malah baru tahu ada cara baru ini..tampaknya lebih efisien ya mbak..makasih informasinya. 🙂
      betul sekali mbak…kalau orang-orang tua mungkin lebih memilih cara lama, lebih paten dan mantap hasilnya..karena mungkin orang-orang tua lebih menghargai proses mungkin ya?

  3. waaaa, inget waktu kecil dulu, waktu mau lebaran kadang ikut bantuin (baca:ngerepotin) ngaduk jenang 😀 tapi, sekarang udah ndak pernah lagi 🙁 *jadi kangen*

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here