Sunda Kelapa

Mungkin pencarian ketenangan justru bisa dicari di tempat yang ramai sekalipun. Atau terkadang sebuah kebahagiaan bisa ditemukan di tempat yang justru menampakkan banyak kegetiran hidup. Itulah warna, terkadang memang bertolak belakang, absurd dan tak bisa ditebak. Mungkin saya salah satunya, disaat gemerlap Jakarta menawarkan berjuta hiburan, saya enggan menikmatinya. Secuil ketenangan justru saya temukan di ujung utara, di Sunda Kelapa.

Tak ada yang istimewa di Sunda Kelapa, kecuali hanya pelabuhan yang terlupakan kejayaannya. Yang dulunya adalah perlambang kejayaan Jayakarta, sekarang tak lebih hanya pelabuhan biasa saja. Kalah dengan gegap gempita pelabuhan baru bernama Tanjung Priok. Padahal dulunya, Sunda Kelapa adalah pesona, diperebutkan berbagai bangsa-bangsa. Sekarang tak ada apa-apanya, bagaimana bisa?

Tapi lupakan soal sejarah yang dulu gemerlap mendadak jadi kelam. Di antara kapal-kapal phinisi yang sandar, kapal yang konon dibuat tanpa blue print, hanya berdasar ingatan pembuatnya, ada hal-hal menarik yang kita intip sehari-hari, kehidupan keras para pelaut yang hendak mengarungi kerasnya lautan nusantara, ada hiruk pikuk yang menimbulkan senyum sekaligus kesedihan.

Sewalah sebuah sampan kecil, lalu susuri sela-sela kapal. Pak pengemudi kapal yang terkadang sudah tua dengan nafas sekali dua kali dengan susah payah menyeimbangkan sampan menyusuri sela-sela kapal besar. Tutuplah hidung atau jika tidak mungkin bisa saja pingsan karena aroma air di pelabuhan ini anyir dan maaf baunya busuk sekali, beda dengan bau pantai yang harum dan membuai.

Dari sampan yang bergoyang, arahkan pandangan ke arah kapal, mungkin bisa melihat awak kapal yang sedang mandi dengan cawat yang sudah bolong-bolong, atau justru buang air besar di pinggir tembok dermaga. Tak ada malu, tampaknya sudah biasa. Hal itu membuat saya terkikik kecil. Mereka buang tai seenaknya di air. Mereka pun buang kencing seenaknya di air, bahkan melambai-lambai ke sampan. Saya balas lambainnya sekenanya, karena tak mampu menahan tawa.

Sampan terkadang akan melaju menuju arah lepas pantai. Itu tergantung pengemudinya, jika mereka sedang baik mungkin penumpang akan diantarkannya melihat cakrawala dan menikmati kerasnya gelombang teluk Jakarta sembari menikmati matahari senja di utara. Tak ada rompi pengaman, jika sampan bergoyang, berpeganglah, atau jika tidak maka bisa tercebur dalam air yang sudah menghitam kelam.

Dari sampan, pengemudi sampan mengemudi pelan, mungkin sambil memikirkan hidupnya yang keras, mungkin anaknya sakit, mungkin istrinya hendak melahirkan, mungkin berpikir bagaimana membayar biaya sekolah anak-anaknya, dan bagaimana-bagaimana yang lain. Sementara saya duduk manis sambil jepret kanan-jepret kiri, bak raja diantar kemana saja.

Di sela phinisi, saya lihat seseorang awak kapal selesai menanak nasi, rautnya bahagia. Saya lambai tangan, dia balas dengan senyum lebar. Mungkin itu nasinya yang pertama hari ini, padahal hari sudah hampir berakhir. Dia akan akan makan nasi itu bersama teman-temannya sesama awak kapal, karena saya lihat dia memanggil kawan-kawannya lalu melambai bersama ke arah sampan yang saya tumpangi.

Sampan kembali mengantarkan saya ke arah dermaga. Saya turun seusai menyalami pengemudi dengan beberapa lembar uang. Deru truk kesana kemari, mengangkat barang-barang yang hendak diangkut ke kapal. Ada semen, ada terigu, ada motor, ada minyak, ada beras, kapal phinisi kayu inilah tumpuan hidup masyarakat di daerah. Mungkin ada yang mendamba bikin rumah harus menunggu semen datang dari Jakarta, sementara kapal kayu ini entah datang kapan, kalah dengan kapal-kapal besi yang lebih canggih, besar dan cepat.

Sunda Kelapa bagaimanapun adalah tumpuan hidup banyak orang. Dari awak kapal, para kuli angkut sampai ibu-ibu penjual makanan. Ada satu lagi pemancing di ujung dermaga. Maka saya arahkan langkah ke ujung, dimana dermaga berakhir dan berbatas dengan lepas laut teluk Jakarta, para pemancing entah memancing apa, entah dapat ikan apa di air yang gelap gulita. Tapi tampak duduk tenang walau tak jauh dari tempat duduknya gelombang mendera kencang, seolah mereka tak takut mati saja. Matanya lurus melihat pancing dan benangnya, barangkali bergerak karena ada ikan memakan umpannya.

Tapi saya tak yakin itu, air saja gelap minta ampun, sampah bertebaran dimana-mana. Barangkali ikan pun enggan tinggal, dan mana mungkin ikan bisa melihat umpan si pemancing di air yang gelap gulita. Mungkin pemancing itu hanya bosan dengan rutinitasnya, maka dia pun sama dengan saya. Mencari tenang, di antara air hitam pelabuhan, diantara angin pelabuhan yang kencang dan diantara gelombang yang menghantam dermaga. Mencari tenang dengan caranya sendiri, tanpa peduli dia tidak dapat ikan sama sekali.

Apa kabar bahagia? sudahkah bertemu? atau hanya ratusan foto di kamera yang saya dapat? Tentunya bahagia menyapa saya dengan cara lain dengan sangat sederhana. Senja merah utara Jakarta, senyum ceria para pekerja pelabuhan yang tulus dan sapa ramah ibu-ibu penjual gorengan yang gorengannya saya comot satu demi satu. Angin yang bertiup kencang menandakan saya sudah mendapat tenang. Menatap lepas cakrawala di utara sana, tampaknya ada rasa tenang yang sudah tergapai. Bukankah tenang adalah hati yang lapang, seluas lapangnya samudera nun jauh disana?

Tabik.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here