Sosok itu berwajah kukuh, raut wajahnya menandakan dia tegar menantang kerasnya hidup, kerut-kerut di wajahnya mengisyaratkan dia tidak akan menyerah melawan waktu yang terus bergerak.

“Halo, om.. sehat?” sapa saya.

Pria tersebut tertegun sejenak, kemudian senyum tersungging saat saya menyodorkan tangan kanan dengan jari telunjuk dan jari tengah ditekuk ke depan, kemudian pria tersebut menjepitkan jari telunjuk dan jari tengahnya di tangan saya, kemudian kami menariknya secara bersamaan sampai tulang-tulang kami beradu berbunyi “cetaaak!”. Itulah salute, salam tanda keakraban diantara masyarakat Papua. Dengan menyodorkan salam tersebut, saya dan pria tersebut tidak ada jarak, akrab.

“Sehat..” Jawabnya sambil menyungginkan senyum lebar dan terkekeh-kekeh senang.

Namanya Karel, saya memanggilnya Om Karel. Beliau bisa ditemui hampir setiap hari di daerah Simpang Dago. Sapalah beliau dengan senyum, dibalik wajahnya yang garang, Om Karel sebenarnya pemalu, murah senyum dan sangat akrab sekali.

“Om..Om Karel darimana asalnya?” Tanya saya dengan penuh hormat padanya.

Sa? Sa dari Wamena, kau tahu Wamena? di Jayawijaya..disana dingin sekali..tapi indah…Pernah ke Wamena?”

“Belum om..mahal kan kesana om?”

“Yaaa..benar! mahal ongkos kesana..haha” Om Karel menjawab sambil tergelak.

“Om..gimana ceritanya bisa sampai ke Bandung?” telisik saya, saya duga Om Karel sudah puluhan tahun hidup di Bandung.

“Jadi begini, dulu saya ke Bandung ikut TNI kesini..Tahun 1971 saya sudah di Bandung”

Sedikit hening, Om Karel menghela nafas lalu melanjutkan cerita.

“Dulu Yon Zipur datang ke Wamena, bangun Bandara..saya ikut bantu-bantu bikin itu bandara..kemudian setelah bandara selesai, mereka hendak pulang ke Bandung. Saya ditawari ikut, akhirnya dari Wamena ada 5 orang yang ikut ke Bandung, termasuk saya..”

(setelah saya teliti, mungkin yang dimaksud Om Karel adalah Batalyon Zeni Tempur 9 / Kostrad yang bermarkas di Ujung Berung. Yon Zipur 9 ini dulu memang ditugaskan di Papua. Salah satu tugas utamanya adalah membangun konstruksi pendukung upaya merebut Irian Barat, saat itu, termasuk Bandara Wamena untuk mobilisasi pasukan)

Kemudian Om Karel melanjutkan ceritanya.

“Saat itu saya naik Hercules, pertama kali dalam hidup. kemudian sejak itulah, tahun 1971 saya meninggalkan Wamena dan memulai hidup di Bandung”

“Wah..om seru sekali..terus-terus?”

“Ya, kemudian saya hidup disini, kelima-limanya dapat orang sini semua, berkeluarga memulai hidup baru. 1 dapat istri orang Garut, 1 dapat istri orang Cimahi, 1 dapat istri Bandung, 1 dapat istri orang Magelang dan saya sendiri dapat orang Cirebon”

Obrolan terhenti sejenak, karena saya harus menjawab telepon teman, padahal obrolan sedang seru-serunya. Saya mohon izin ke Om Karel untuk mengangkat telepon dan setelah selesai, saya lanjutkan obrolan.

“Keluarga tinggal dimana om?” lanjut saya.

“Kami tinggal di Ujungberung, dekat Asrama Yon Zipur..”

“Anak sudah besar om?”

“Ya, anak saya masih sekolah..anak saya 2, yang 1 sudah meninggal..tinggal satu-satunya yang ini..”

Maaf om, saya tidak bermaksud..” lanjut saya penuh sesal. Saya merasa menyesal sudah menanyakan hal itu, mungkin saja bisa mengusik perasaan Om Karel.

“Tidak apa-apa..”

Kemudian Om Karel melanjutkan.

“Dulu Bandung masih belum banyak orang Papua. Kalo sekarang sudah ramai, banyak mahasiswa. Ada asrama di dekat Gedung Sate, ada di Cimahi. banyak sekali orang Papua, kadang sengaja datang kesini, termasuk teman-teman om yang 4 tadi, kalau ke Bandung pasti mampir kesini..” jawab Om sambil tersenyum sangat lebar.

Wah, pasti Om Karel ini merasakan bagaimana menjadi pelopor orang Papua di Bandung, melawan lingkungan yang keras dan benar-benar baru. Sampai tidak terasa sudah 40 tahun Om Karel hidup di Bandung.

“Pernah pulang ke Wamena Om?” Tanya saya, pertanyaan ini mungkin terasa mengusik Om Karel, mungkin akan membangkitkan kenangannya akan kampung halaman. Sebagai orang yang merantau sangat jauh dari kampung halaman, pasti Om Karel pernah pulang ke Wamena.

“Ya, saya sudah 5 kali pulang ke Wamena. Tapi keluarga belum pernah, saya sendiri. Mahal ongkos kesana”

Saya tertegun, dari 1971-2012 beliau baru 5 kali pulang. Pasti sebuah perjuangan untuk pulang ke Wamena. Selain jauh, biaya transportasi ke Wamena pun sangat mahal.

“Kamu harus ke Wamena, disana indah sekali, dataran paling tinggi di Papua, Jayawijaya.”

“Siap, om..doakan saya jadi orang kaya dulu..” Jawab saya sekenanya, sekaligus doa supaya saya memang benar-benar bisa ke Wamena.

Om Karel tidak menjawab, hanya tertawa terbahak-bahak..sambil menepuk-nepuk bahu saya, akrab.
Kami melanjutkan obrolan, tentang kerjaannya, tentang keluarganya, tentang hidupnya, tentang pekerjaannya yang membuat Om Karel tidak absen berada di Simpang Dago. Sejak 20 tahun lalu, Om Karel terus mengabdi kepada keluarga tentara yang membawanya ke Bandung. Walaupun sang Bapak, yang membawa Om Karel telah meninggal, Om Karel tetap bekerja pada keluarga tersebut, karena ada si ibu, suami sang bapak.

Om Karel sesekali bercanda yang cukup membuat saya terpingkal-pingkal. Om Karel bagi saya seperti seorang bapak yang teguh melawan kerasnya hidup, raut wajahnya keras, namun hatinya lembut. Om Karel banyak senyum, banyak tertawa.

Namun sayang, obrolan saya dengan Om Karel harus terhenti karena rupanya saya harus bertemu dengan dosen pembimbing skripsi saya di kampus.

Saya pun meminta foto Om Karel, Om Karel hanya tertawa sambil malu. Rupanya Om Karel ini pemalu, akhirnya dengan senyum lebar dia berpose..

“Om..senyum om..senyum lebar-lebar om biar ganteng!” Kata saya, Om Karel hanya terkekeh-kekeh “Apa sa ganteng? sudah tua begini ganteng? hahahaha..”

Ckrek! segera kamera ponsel saya memotret Om Karel dengan senyum lebarnya, gagah sekali. Lalu saya perlihatkan foto Om Karel dari ponsel saya. “ganteng tuh om”

Om Karel hanya tertawa terkekeh-kekeh, sambil menutup mulutnya, mukanya memerah senang, dia terus terkekeh sambil menepuk-nepuk bahu saya. Saya pun ikut tertawa bersama Om Karel.

Sambil mengemasi barang bawaan saya, saya melontarkan pertanyaan pamungkas :

“Om, omong-omong enak ya di Bandung?”

“Enak sih. tapi seenak-enaknya di Bandung, tetap enak di kampung halaman, di Wamena. Saya pengin suatu saat saya bisa pulang lagi ke Wamena, lihat kampung”

Deg. Saya kembali tertegun. Om Karel ingin sekali pulang ke Wamena, saya hanya biasa mengaminkan, semoga Om Karel benar-benar bisa kembali ke Wamena.

Sambil menghormat, saya izin pamit ke Om Karel. Om Karel bilang “hati-hati di jalan..”  tangannya melambai, badannya masih tegap kukuh, suaranya masih keras dan nada bicaranya masih tegas. Sambil melambaikan tangan, saya meninggalkan Simpang Dago, meninggalkan Om Karel, meninggalkan obrolan-obrolan yang sangat berkesan.

Om Karel bisa ditemui di Simpang Dago, di samping gedung PLN Bandung Utara, tak jauh dari restoran cepat saji McDonalds, Simpang Dago. Saya tidak tahu jadwal Om Karel disana, tapi bisa bertanya ke orang-orang disana, Om Karel sangat terkenal disana, karena kebaikan hatinya, karena senyumnya yang lebar dan karena gelak tawanya yang khas.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

2 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here