gambar dari : http://worldcoffeeonline.com/gpage1.html

“Getting to the top is optional. Getting down is mandatory.” Ed Viesturs

Firaz, seorang pendaki yang mendaki Semeru beberapa waktu lalu, dikabarkan hilang tersesat saat turun dari puncak Semeru akhirnya bisa ditemukan dengan selamat. Atas perlindungan dari Tuhan, kerja keras tim SAR dan kegigihan Firaz, dia telah menjadi sosok survivor tangguh di Semeru.

Tapi tunggu dulu, dari kejadian di atas ada beberapa pelajaran yang bisa diambil. Terutama dalam hal dunia naik gunung, karena ada beberapa hal-hal yang harus digarisbawahi. Dunia naik gunung memang dunia yang asyik sekaligus mendebarkan, membutuhkan nyali tinggi dan juga ilmu yang cukup juga.

Kejadian ini perlu dijadikan perhatian, apakah para pendaki gunung itu benar-benar telah siap mendaki gunung dan mengikuti prosedur? Berikut saya sarikan keterangan dari ibu Ayu Utari Dewi, Kepala Balai Besar TNBTS yang otoritasnya membawahi Gunung Semeru.

“Dalam pengalaman dan catatan kami, mayoritas kecelakaan yang dialami pengunjung, terutama pendaki, karena mereka mengabaikan peringatan kami. Rambu-rambu sudah kami pasang tapi tetap saja dilanggar,”

“Pengunjung harus terus diedukasi agar paham aturan, rute, dan karakter rute pendakian. Untuk sementara, pendakian kami batasi sampai Pos Kalimati saja karena kondisi Gunung Semeru masih labil. Kawah Semeru itu rutin meletup-letup dan berbahaya. Kalau kembali normal, baru boleh naik sampai ke puncak,”

“Dia pendaki pemula yang baru pertama kali mendaki gunung. Sehingga tak bisa berfikir tenang,”

Dari beberapa keterangan dari Ibu Utari Dewi itu sudah jelas benar mengenai pembatasan pendakian di Semeru. Hanya dibolehkan sampai di Kalimati. Jelas dan Tegas.

Jadi salah siapa jika ada pendaki yang nekat sampai ke puncak, abai terhadap aturan? siapa yang hendak bertanggung jawab? tapi tampaknya itulah karakter orang Indonesia, abai terhadap aturan, aturan dianggap remeh. Mulai aturan kecil seperti melanggar lampu lalu lintas, sampai aturan besar misalnya korupsi. Ada saja aturan yang dilanggar, diabaikan.
Tampaknya sudah menjadi karakter orang Indonesia.

Memang kita harus bersyukur, pendaki yang hilang sudah ketemu dengan sehat wal afiat. Tapi kita harus melihat 2 sisi, jika aturan dilanggar, kasarnya tidak usah di-SAR pun tidak apa-apa. Dan pihak TNBTS pun bisa saja tidak bertanggung jawab, wong sudah jelas dilarang, berarti sudah diluar tanggung jawab pihak TNBTS. Tapi apakah begitu? tidak, tim SAR pun pasti menurunkan orang-orang terbaiknya untuk mencari dan menemukan pendaki yang hilang.

Saya juga tidak bermaksud mempermasalahkan pendaki yang pemula atau bukan, seorang pendaki seyogyanya sudah membekali diri dengan baik sebelum melakukan pendakian. Ingat gunung itu bukan sesuatu yang remeh temeh, persiapan harus matang benar. Mengikuti prosedur pun bukan jaminan keselamatan, seorang yang berpengalaman pun bisa jadi korban.

Tapi saya kira sekarang gelombang orang-orang yang naik gunung semakin banyak, semakin antusias. Apalagi Semeru, banyak sekali yang mendaki karena statusnya sebagai gunung tertinggi di tanah Jawa, yang kedua intensitas pendaki makin meningkat karena adanya novel 5 cm yang berlatar di Semeru.

Saya akui, novel itu sangat hebat untuk mempersuasi orang ke Semeru, dan memang banyak yang akhirnya terinspirasi ke Semeru karena novel itu. Hanya saja namanya novel, bukan buku panduan naik gunung. Di novel tersebut tidak dijelaskan dengan detail perlengkapan, persiapan dan sebagainya.

Beralih dari novel tersebut, saya sendiri berpendapat seorang yang ingin naik gunung, seharusnya memiliki beberapa unsur : doa, niat, tekad, alat dan skill. Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di gunung, pendaki harus memiliki kesiapan dan persiapan untuk menghadapi semua itu.

Puncak gunung masih tetap ada dan bisa didaki berkali-kali, tapi seorang pendaki hanya memiliki 1 nyawa, kesempatan hidup cuma sekali. Tidak ada stock nyawa. Jadi jangan terlalu berorientasi pada puncak, kali ini tidak muncak, bisa lain kali. Esensi naik gunung tidak hanya puncak semata, tapi di perjalanannya, bagaimana menemukan diri sendiri, bagaimana menikmati perjalanan itu sendiri.

Kalaupun tidak ada yang mencapai puncak, tidak akan ada yang menertawakan. Justru kalau memaksakan ke puncak, saat kondisi tidak memungkinkan malah nanti banyak yang akan direpotkan. Seyogyanya arif saat mendaki gunung, ikuti aturan main, lihat kondisi dan situasi. Ketika mapala kampus saya, STAPALA  tidak sampai ke puncak saat pendakian Elbrus, saya angkat topi setinggi-tingginya. Pasti keputusan berat, tapi itu yang terbaik setelah melihat berbagai opsi.

Seperti quotes yang saya taruh di tempat teratas di tulisan ini, mencapai puncak adalah sebuah pilihan. Pilihan dari berbagai opsi yang terjadi, jadi tidak semua harus mencapai puncak. Waspadalah, selalu siaga dan selalu belajar. Manusia tidak lebih besar dari gunung, manusia tidak akan bisa menaklukkan gunung, manusia hanya bisa berteman dengan gunung.

Kemudian saya sempat bertukar pikiran dengan beberapa penggiat kegiatan naik gunung, beberapa saya kenal selama di kampus, beberapa saya kenal di dunia jalan-jalan. berikut beberapa saya tuliskan pendapat mereka tentang kejadian di Semeru dan beberapa tips -tips untuk melakukan aktivitas di gunung :

Yusman

Yusman adalah adik kelas saya di STAN dan aktif di STAPALA

“saya yakin banyak dari kita yang berhasil muncak mahameru juga ngelanggar itu..dan yang saya tekankan disini adalah bagaimana kita menerapkan safety first itu sendiri..banyak dari kita yang menggapai puncak2 untuk sebuah PENGAKUAN aja kan? ya semoga kita bukan bagian dari yang sekedar mancari PENGAKUAN itu..”

“kembali lagi ke safety first, sebenernya kita bisa meminimalisir kecelakaan2 itu, mulai dari :

1.latian fisik.

2.belajar medan, bisa baca2 dari catper.

3.persiapan logistik, selain 2 di atas,ini juga sering diremehin para pendaki.

4.alat navigasi, optional sih berhubung biasanya gak murah tapi menurut saya penting,senggaknya kita bawa kompas dan sebelumnya udah pernah baca atau tau petanya.

5.tanda medan, sangat2 penting kita kenali..dan dari mahameru banyak yang tersesat, karena 2008 saya naik masih berdiri cemoro tunggal-nya, 2009 saya naik lagi dan cemoro tunggal udah tumbang dan itu adalah satu2nya tanda medan ke puncak..kalo naek ketemu dan pulang gak ketemu sudah bisa dipastikan kita akan tersesat.

6.kenal iklim, teringat kasus anak UGM beberapa taun yang lalu dia jatuh ke jurang, pas saya ikut ngelayat, sedikit saya bisa simpulkan dia emang terlalu maksa, dari kelik / batas vegetasi udah ada tanda-tanda badai pasir, tapi dia tetep maksa naik,itu sangat berbahaya.

7.tahan ego, seperti kasus UGM itu dan kemaren pas saya rinjani, saya sempet tuker pendapat dengen temen saya, antara lanjut puncak dan apa langsung turun senaru aja dari plawangan / pos terakhir sebelum anjani, mengingat malam pertama kita di plawangan ujan,tidak memungkinkan buat muncak sedangkan hari kita juga terbatas dan alhmdulilah setelah delay sehari,kita bisa muncak.

intinya. menurut saya hal paling penting adalah mental..kita tau sendiri kan,kalo kita udah di tempat seperti itu,siapapun kita bakal keluar aslinya dan menurut saya kebanyakan kecelakaan itu terjadi emang karena ego kita itu tadi…pengen cepet2 muncak…ninggalin kawan yang sakit di belakang..gak merhatiin skipper-nya dimana dll,jangankan yang baru2 naek gunung..yang udah biasa aja masih sering PONGAH.”
Isma Amalia

Isma Amalia adalah seorang penggiat kegiatan alam di STAN, alumni Semeru di 2009 dan memiliki putra nan gagah bernama Ranupane.

“yang utama berdoa, jangan jumawa, safety procedure, tau diri, dan jangan meremehkan alam.”

Bayu Amde Winata

seorang pendaki yang saya kenal sejak 2008 melalui Backpacker Indonesia, portofolio mendakinya sudah sangat banyak.

“sebagian besar orang menganggap puncak adalah segala nya. Mungkin, karena nyawa bisa di keteng.

“Puncak bukan segala nya.Perjalanan yg saya nikmati. Ngopi bareng,motret, camping itu seru. Puncak bonus. “

Tommy Wahyu

Tommy akrab dipanggil tomblok adalah kawan semasa SMA dan menjadi ketua Glacial, klub pecinta alam semasa saya SMA.

“kita naik tujuannya pulang dengan selamat, itu pesan dari pembina Glacial, Pak Tatak”

“kalau saya, dimanapun kita ngecamp, disitulah puncaknya.”

Saya memang bukan seorang mountaineer, apa yang saya tulis mungkin bukan dari sisi seorang mountainer, tapi setidaknya saya tahu bagaimana seorang mountainer seharusnya. Teman-teman saya banyak yang mountainer dan dunia jalan-jalan saya pun sedikit banyak bersentuhan dengan dunia mountainer.

Kemudian, saya berharap ke depannya dunia naik gunung semakin aman, semakin banyak pendaki yang sadar dan tidak serampangan. Tidak usah memaksakan sesuatu, ukur diri sendiri, ukur situasi. Persiapkan diri, mental dan alat semaksimal mungkin.

Saya juga berdoa kepada semua pendaki agar saat naik dan turun selalu dilimpahi keselamatan.

Selamat mendaki gunung, Tabik!

Victory Loves Preparation. / Amat Victoria Curam – The Mechanic”

disclaimer : saya bukan mountainer, pendakian saya terakhir adalah saat masih kelas 2 SMP, 2 kali mendaki Merbabu. saya juga bukan seorang anak organisasi pecinta alam, tapi dulu saya aktif di kepanduan dan palang merah. di kepanduan saya belajar tentang orientasi medan dan mengikuti latihan survival yang intensif. di Palang Merah saya ikut diklat dasar SAR dan kemudian dilanjutkan latihan evakuasi musibah gunung.

sumber pernyataan Utari Dewi, kepala TNBTS : http://www2.tempo.co/read/news/2012/11/01/058438940/Inilah-Aturan-dan-Rute-Pendakian-ke-Gunung-Semeru

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

16 KOMENTAR

  1. Siapkan fisik dan mental, ikuti aturan dan prosedur yang ada, jangan lupa berdoa. Itu aja sebetulnya.

    Tapi banyak pendaki yang acuh. Peralatan gak standar, suka lewat jalur gak resmi, bahkan tidak mempunyai dasar ilmu seperti navigasi darat..

    Happy trekking, jangan lupa safety first 🙂

    *jangan lupa sampahnya dibawa turun* 😆

  2. saya sudah mendaki gunung sejak SMA sampai sekarang, dan belum ada 1 gunung pun yang puncaknya pernah berada di bawah lutut saya. Kondisi tubuh, dan kondisi lingkungan yang menyebabkan saya tidak pernah sampai ke puncak. pendaki itu bukan orang yang bisa menaklukkan puncak gunung, tapi bagaimana bisa menekan ego ketika berada di gunung. Anda pasti tahu bahwa di gunung, sifat asli manusia akan muncul dan itu perlu dikendalikan.

    saya masih ingat bagaimana hektiknya pendakian Gede-Pangrango tahun 2007. Cuaca sedang badai, kebanyakan dari kami memaksa naik ke puncak, saya berhenti di Pos Kandang Badak, ngopeni anak2 yang fisiknya drop. entah apa jadinya kalo saya ikut naik ke puncak, tak ada yang menjadi tim P3K di pos dan saya yakin jika saya tidak save tenaga di pos, teman saya mungkin sudah ada di alam sana karena hipotermia.

    Gunung, insya Alloh sebelum kiamat pasti masih ada di tempatnya, berdiri kokoh. masih bisa lain waktu untuk naik sampai puncak, tapi nyawa cuma ada 1, kalo hilang, ya sudah tak akan ada lagi yang namanya naik gunung atau kegiatan outdoor lainnya. hargai nyawa, ingat juga ada yang menunggu di rumah.

  3. “tidak ada cuaca buruk, yang ada kita kurang persiapan” saya lupa kutipan siapa, tapi saya setuju bahwa mendaki gunung itu yang terpenting adalah proses dan kebersamaannya… puncak hanyalah bonus.

    saya pernah membaca, bukan kecelakaan yang menjadi penyebab kematian utama di gunung. tapi udara dingin yang membuat hipothermia, bila seseorang sampai terkena penyakit itu, berarti dia yang kurang wawasan dan persiapan

  4. mendaki,bagi ku kata yg cukup melelahkan entah apa yg kalian cari jika di bandingkan dengan apa yang di dapatkan tidak sebanding dengan segala persiapan dan resiko yg di tanggung.
    tp menurut ku kalian hanya mencari hal yang telah hilang…..
    begitu lama mungkin saat kita belum lahir itu sudah hilang.

    suasana dimana semua murni……………………thx.

  5. saya setuju yang “di manapun kita ngecamp, disitulah puncak” setelah semakin sering naik gunung jadi semakin sadar pula, puncak memang bukan segalanya, kamar kost dan rumah tempat pulang itu segalanya, dan perjalanan di gunung itu obat kangen kita kepada alam, asalkan bisa lihat sunrise dan sunset juga udah cukup dan nggak harus liat dari puncak..

  6. bangga sekali ketika membaca tulisan abang yang mencantumkan nama STAPALA di artikel ini. saya sebagai anggota aktif STAPALA merasa tersanjung. kalau bang yusman adik kelas abang berarti abang STAN angkatan dibawah 2007 ya

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here