disclaimer : semua ini pendapat pribadi.

Bicara soal Pariwisata Indonesia akan sangat panjang sekali, seolah seperti rel kereta yang tak diketahui dimana ujungnya. Seperti malam ini saat lampu notifikasi di gadget saya berkedip dan seorang kawan bernama Sastri memberitahukan ada diskusi menarik di grup DRWB tentang pariwisata.

Sebetulnya saya kurang ngeh dengan diskusi tersebut karena saya pada saat diskusi berlangsung sedang terpekur membaca setumpuk buku sejarah yang belum saya baca. Tapi akhirnya saya scroll ke sampai tuntas obrolan tentang pariwisata di grup. Sebenarnya saya ingin me reply, tapi rupanya saya lebih nyaman mengeluarkan pendapat di blog supaya tidak sepotong-sepotong.

Saya rasa wacana untuk studi banding ke luar negeri untuk belajar pariwisata di luar negeri akan sangat bagus untuk pariwisata Indonesia. Tapi jika ingin membandingkan pariwisata Indonesia dengan negara lain?  Tunggu dulu. Itu bukan langkah yang bijak. Bagaimana tidak? silahkan cari negara yang apple-to-apple  dengan Indonesia, mungkin akan susah menemukannya karena negara kita tercinta ini terlalu unik untuk dibandingkan. Karena prinsip membandingkan adalah mencari yang sejenis, sebanding.

Sebagai contoh :  membandingkan pariwisata Indonesia dengan Singapura. Tidak akan cocok karena Singapura mungkin hanya seluas Jogja. Membandingkan pariwisata Indonesia dengan negara kepulauan seperti Filipina pun tidak bisa karena luas dan karakter wilayahnya berbeda sekali.

Saat pertama kali berkunjung ke Singapura, saya merasa takjub dengan kemasan pariwisata yang begitu semarak. Tapi kemudian saya ingat Singapura ini negara kecil yang tentu lebih mudah diatur, dikemas dan dijual dibandingkan negara kita tercinta yang luasnya minta ampun. Negara yang punya ribuan objek wisata. Keliling Singapura mungkin selesai satu bulan, keliling Indonesia? Mungkin akan belasan tahun.

Menuduh Kemenparekraf tidak bekerja atau makan gaji buta juga hanya merupakan asumsi. Saya mengapresiasi bagaimana Ibu Mari Elka Pangestu berusaha keras meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia di tahun 2012 ini. Jangan lupa dunia pariwisata kita pernah hancur hingga titik nadir saat ada teror bom yang mengguncang Bali dan Jakarta. Betapa kejadian itu membuat usaha yang dibangun menjadi runtuh hingga Kemenparekraf / dulu Depbudpar harus berkali-kali mulai lagi dari nol untuk membangkitkan dunia pariwisata negara kita.

Tidakkah kita sadar sekarang banyak sekali festival wisata yang sudah diakomodasi Kemenparekraf. Dieng Culture Festival, Jailolo Festival, Jember Fashion Carnaval, Solo Batik Carnival dan berbagai festival wisata lain. Selain itu Kemenparekraf juga sudah menyokong berbagai jenis kegiatan yang mendorong branding traveling seperti website cantik yang sudah cukup akomodatif menyajikan destinasi-destinasi cantik di Indonesia.

Oia, Kemenparekraf sudah cukup akomodatif dengan para traveler yang menjelajahi Indonesia. Tahun 2011 kemarin kawan saya Bali Backpacker dengan program Lihat Indonesia-nya berhasil menjelajahi seluruh Sulawesi dan menghasilkan foto-foto dan video yang dipergunakan untuk sharing pariwisata Indonesia atas dukungan dari Kemenparekraf. Jadi Kemenparekraf pun melihat potensi kita sebagai traveler/backpacker untuk menjadi agen yang mempromosikan Indonesia.

Apakah Kemenparekraf lalu bekerja sendiri untuk pariwisata Indonesia? Tentu tidak. Kemajuan pariwisata adalah kerjasama komunal semua pihak, tidak semata dibebankan Kemenparekraf. Saya menyadari hal ini saat mendapat kesempatan ke Lembah Bada di pedalaman Sulawesi. Lembah ini konon adalah tempat pertama kali manusia turun di Sulawesi dan memiliki peninggalan patung-patung megalith serupa di Pulau Paskah.

Tapi akses kesana susah sekali! Jalan yang buruk dan saya bahkan harus trekking 15 jam dan menginap semalam di hutan untuk mencapainya. Jika menggunakan kendaraan bermotor saya harus menghabiskan waktu 12 jam di jalanan. Sama-sama pilihan yang sulit. Jadi apakah ketersediaan akses itu tanggung jawab Kemenparekraf? Bukan.

Akses ke tempat wisata adalah tanggung jawab Dinas Pekerjaan Umum untuk membangun jalan, dan Pemerintah Daerah/Pusat untuk dananya. Jadi tidak semata Kemenparekraf yang bertanggungjawab. Seharusnya semua elemen masyarakat pun ikut turut dalam membangun pariwisata. Konsepsinya begini, akses mudah, biaya murah, tempat wisata ramai, ekonomi masyarakat meningkat.

Mahalnya wisata ke dalam negeri pun bukan semata urusan Kemenparekraf karena ketersediaan akses, seperti pesawat yang mahal ke Papua itu seharusnya ada di wilayah instansi yang mengurusi perhubungan, lalu berhubungan dengan Pemerintah Daerah untuk membuka akses. Jika itu bersinergi maka kunjungan ke tempat wisata yang paling terpencil pun pasti bisa dijangkau dengan biaya murah.

Sayangnya mahalnya akses itu terkadang menjadi pembenaran untuk lebih memilih berwisata ke luar negeri. Ya, memang semua itu pilihan. Tapi jika mencintai sesuatu saya pikir tak ada salahnya mengeluarkan biaya lebih. Siapa yang akan mengunjungi Indonesia jika bukan kita sendiri? Walaupun saya rasa saya sendiri pun sering mengeluh mahalnya biaya. Dan bagaimana saya yang tahun ini mencapai titik jenuh untuk melakukan perjalanan ke dalam negeri.

Masyarakat juga harus suportif. Saya menganalisa bagaimana masyarakat Singapura sangat suportif dengan pariwisata negara mereka. Ini yang tidak ditemui di negara kita. Bagaimana tingkah laku pedagang asongan yang memaksakan dagangannya di tempat wisata, vandalisme, penerapan tarif yang tidak adil bagi turis luar. Hal-hal begini yang harus dibenahi. Percuma memperbaiki tempat wisata jika tidak turut membangun orang-orang yang turut andil di dunia tersebut.

Saya sedikit miris dengan kondisi tempat wisata di Indonesia. Jujur Indonesia masih perlu banyak belajar, namun kondisi pariwisata pun sedang menanjak menuju titik positif. Saat saya di Sulawesi saya tinggal di rumah seorang Jagawana, seorang lokal di Pedalaman Taman Nasional Lore Lindu, suasananya syahdu sekali. Lore Lindu itu permata wisata, namun jauh dari ekspos karena susahnya akses. Masyarakatnya juga punya budaya unik. Tapi banyak yang belum tahu.

Menyoal traveling ke luar negeri atau ke dalam negeri, itu sudah menjadi perdebatan dan tak akan selesai. Kembali ke pilihan masing-masing, selama traveling itu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, maka destinasi pun bisa dikesampingkan. Tapi saya berprinsip, traveling tak semata destinasi. Ada hal-hal yang lain yang bisa didapatkan selain itu, ada pembelajaran.

Kemudian saya percaya traveler itu borderless. Tidak memiliki sekat-sekat. Sekat kewilayahan saja runtuh. Apalagi sekat berupa pengkotakan traveler. Entah traveler anggota komunitas ini, itu, dsb. Saya percaya setiap traveler pasti memiliki “klik” saat mereka bertemu, tidak peduli dari mana asal mereka, atau dari komunitas mana. Sikap komunal ini yang harus dipahami, bahwa traveler itu egaliter. Tidak ada traveler yang lebih jago dari yang lain, karena semua memiliki pengalaman, juga memiliki prinsip dan tujuan masing-masing.

Itulah mengapa saya tidak setuju dengan konsepsi CS. Saya dulu sempat tertarik mendaftar CS. Tapi toh saya urungkan, karena saya tidak mau hanya terkotak-kotak. Maksud saya begini, jika saya anggota CS apakah saya hanya boleh membantu sesama member CS? bagi saya tidak, saya akan membantu semua traveler/backpacker siapapun dia, dari manapun dia. Karena itu saya mengikuti konsepsi CS, saya membukakan rumah saya di kampung untuk setiap traveler yang membutuhkan akomodasi, gratis, pakai saja apa pun yang ada di dalam rumah. Jika dihitung sejak 2009, rasanya sudah ada seratusan orang yang pernah menginap di rumah saya.

Berkaitan dengan ini, ada berita miring tentang beberapa oknum CS dari Indonesia yang inginnya gratisan di negeri orang. Tapi tidak mau menjamu orang asing saat berkunjung. Toh, saya tidak tahu benar atau tidak, itu hanya kabar selintas. Rasanya kalau maunya begitu, orang Indonesia akan terlihat murahan saat traveling, lebih taunya gratisan. Padahal seharusnya traveling itu mendayagunakan apa yang dipunya, semaksimal mungkin. Bukan maunya gratisan tapi maunya maksimal. Kalau seperti itu, jadi kapitalis saja yang maunya untung terus.

Sayangnya, saya rasa saya sendiri masih jauh dari itu. Saya belum mampu egaliter dengan traveler lain. Kadang saya masih mengkotakkan si A dari kelompok X, masih melihat A dari mana, B dari mana dst. Kadang saya mengeluh ini itu saat dijamu orang. Naif sekali rupanya saya. Gampang berucap, gampang menulis, tapi susah bertindak.

Tapi toh, saya gembira sekali bahwa dunia pariwisata Indonesia sedang pesat perkembangannya. Para traveler indonesia juga mulai masif menjelajah relung-relung Indonesia. Saya hanya berharap ini bukan tren sesaat, tapi merupakan wujud nasionalisme baru di kalangan anak muda Indonesia untuk menjadi bangga dengan negaranya.

Oia, sementara ini saya hanya bisa menulis. Saya belum bisa memberikan sesuatu untuk pariwisata Indonesia. Kalau Anda?

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

20 KOMENTAR

  1. Kk Terajanaa..

    I couldn’t agree more.

    Buat aku, traveling bukan suatu bukti bahwa seseorg nasionalis ato non-nasionalis.

    Buat aku, traveling itu untuk melihat dan merasa apa yg aku tidak punya dirumah.

    Jadi mo itu letaknya di dlm negeri ataupun luar negeri, itu seharusnya bukan suatu hal yg musti dipermasalahkan. 🙂

    Soal peran kemenbudpar, aku ms percaya semuanya akan lebih baik. Ga mungkin lsg serentak, 17rban pulau cyinn.. Pegawai kemenbudpar aja cm berapaa.. 😉

    Klo ke Sulawesi Tengah, mampir ke danau Tentena yaaa..

  2. kalo kata gw sih, pariwisata indonesia “maju” itu bukan karena pemerintah, tapi karena usaha masyarakatnya sendiri (komunal, seperti yg elo bilang). ironisnya, ketika udah “maju”, pemerintah dgn “keren”-nya mem-branding seolah-olah mendukung..

    pada dasarnya karena masyarakat Indonesia ini sektor ekonomi mikro-nya kuat. jaman 1998, pas era kerusuhan, ekonomi sempet hancur. tapi seperti kata para pakar, ekonomi mikro ini macam makhluk hidup, mencari cara agar bertahan dan secara komunal bisa saling terkoneksi.

    kalo jeli,munculnya usaha warung tenda, pengisian air galon isi ulang, itu muncul di era setelah 1998. yang mengusahakan? ya masyarakat sendiri. pemerintah? malah minta masayarakat menjual emasnya demi memulihkan ekonomi yg terpuruk kala itu.

    gitu juga dgn wisata. skemanya hampir sama. “kemajuan” ini bukan karena pemerintah, api memang atas usaha komunal. ya si traveler, ya masyarakat di daerah yg dikunjungi. oke lah kal mau dibilang pemerintah membantu, tapi ya hanya sebatas nasih kebijakan yang gak jelas. buktinya masih banyak jalan rusak. kalo pun bagus, biasanya karena swadaya masyarakat, karena memang mereka yang butuh.

    kalo liat iklan pariwisata negeri tetangga di jaringan televisi internasional, agak miris. kok aku gak pernah liat iklan Indonesia? denger-denger memang ada, tapi memang ditujukan utk wisatawan luar. lah, ini aku kok gak pernah liat, padahal liatnya juga di jaringan TV internasional kok.

    setauku sih ya, kampanye wisata di Singapura, Malaysia, Thailand, Hongkong, Taiwan, itu bukan departemen pariwisatanya yang megang. tapi ada semacam badan independen yang memang ngurusi wisata, mulai dari konsep, kampanye, hingga eksekusi dalam penyediaan infrastruktur. badan ini biasanya bernama “namnegara tourism board’. departemen pariwisata cuma bikin kebijakan, bukan mikirin konsep dsb.

    di kita mah enggak. semua dipegang pemerintah. konsep, kampanye, dan eksekusi, gak sinkron. ujung-ujungnya, tiap ganti pemerintahan, ganti konsep dan kampanye. ujung-ujungnya, apalagi kalo gak duit?

    jadi, menurutku ya wajar aja kalo banyak orang Indonesia lebih suka traveling ke luar. selain banyak tiket murah, ya secara infrastruktur lebih baik. soal alam, udah lah, percaya indonesia yg paling keren. tapi buat apa barang kereng tapi gak bisa dikelola?

    singapura, gak punya apa-apa, tapi mereka niat banget sampe mengadakan dan kemudian dijual. kita? berlimpah tapi yah, merasa sudah kaya lalu dibuang-buang..

    sedih gak sih? 😀

    • bener sekali mas zam..
      memang kontribusi terbesar industri pariwisata kita berasal dari kita-kita sendiri, dari masyarakat, dari pelaku.
      memang seharusnya ada badan independen seperti yang mas zam bilang, pemerintah hanya regulator.
      pelakunya ya orang pariwisata yang ngerti.
      sementara ini mungkin kemenparekraf berperan sebagai regulator sekaligus badan independen, jadinya carut marut memang.
      tapi memang sedih sih mas.
      punya potensi luar biasa tapi macam terabaikan, jangan ditambahi lagi salah urus..bisa runyam.

      Thanks sudah mampir mas zam. 🙂

  3. Sesuatu yang besar dimulai dari hal yang kecil, ribuan anak tangga yang harus dilewatipun dimulai dari satu langkah pertama (kecil). kita sebagai penduduk jelata terkadang merasa tak banyak hal yang dpt kita lalukan untuk membantu berkembangnya pariwisata dinegeri sendiri dan selalu membandingkan betapa luar biasanya parisiwata dinegara orang lain. ujung-ujungnya secara tidak langsung menyalahkan pemerintahnya.
    Padahal jika kita lihat mencoba bercermin, banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membantu mengembangkan pariwisata Indonesia. Contoh kecilnya bagi yang suka menulis dapat membagi tulisannya untuk mengabarkan kepada orang indonesia pada khususnya serta pada dunia negeri kita begitu kaya dan indah untuk dijelajahi. Bagi yang suka foto dapat share hasilnya sehingga dapat menginspirasikan setiap orang yang melihat untuk berpikir melakukan perjalanan. Saya sendiri terinspirasi oleh don hasman, barry kusuma dll yang merupakan salah satu travel photographer yang senang berbagi untuk menginsirasikan orang-orang untuk traveling.
    Dengan semakin cepatnya berkembang informasi di era internet ini, secara langsung berdampak pada pengingkatan pariwisata, yang dahulunya sebatas brosur atau majalah, kini informasi tersebut dapat dengan mudah diperoleh di internet.. inilah kekuatan dari “indahnya berbagi’. Andai semua orang lebih memilih berpikir positif untuk membuat suatu tulisan yang baik mengenai pariwisata dibanding mengeluh (saja tanpa tindakan apa-apa), tentunya dampaknya akan luar biasa terhadap kemajuan pariwisata negeri kita.

    Nice post bro efenerr, Love it. 🙂

    • makasih sudah mampir mas..
      betul sekali bahwasanya segala sesuatu dimulai dari yang kecil dan dimulai dari kita sendiri.
      pariwisata ke depannya tergantung pada kita, orang-orang yang benar-benar mencintai pariwisata.

  4. Finally, komen.. #IMHO

    Hmmm..sebelumnya saya mau bilang kalo saya salah satu orang yang skeptis dengan segala hal yang berbau kepemerintahan..Jadi mungkin bawaannya kalo sesuatu yang buruk sama negara pasti ujung-ujungnya , “Ah mentri A nih gak keren, ah Mentri B lah begini-begitu” .. Orang awam yang selalu di cekokin sama hal-hal buruk di Indonesia.

    Tapi, setelah baca & merenungkan penjelasan mas Chan, sedikit banyak ‘Mata” saya jadi terbuka.. Iya, saya juga sadar kemajuan pariwisata atau bahkan negara kita ini emang gak cuma tanggung jawab dari pemerintah..Tapi dari kita sendiri juga sebagai orang Indonesia. Contoh : Waktu gembar-gembor tari tor-Tor di Klaim, batik di Klaim, kita masyarakat Indonesia sibuk berkoar-koar, padahal kenyataannya sebelumnya kita mengabaikan semua itu ..

    Saya juga agak sependapat dengan bagian dimana kita akan susah untuk mendapatkan tolak ukur dalam membandingkan pariwisata / keadaan suatu negara dengan Indonesia. Ya karena emang Indonesia bener-bener beda. Tempat wisatanya banya, gak cuma 10 biji.Orangnya banyak, kepulauannya luas BUANGET! Suku beragam, watak beragam dan emang sulit (bukan ga bisa). Ya walaupun keadaan itu sedikit bikin pesismis sih..Hahah..apalagi ngeliat wisata di negara lain kok secara pencitraan kayaknya lebih bagus dari Indonesia.

    Masalah akses, sarana, prasarana saya gak terlalu paham. Yang penting menurut saya suatu saat semua orang bisa ngerasain pergi ke tempat-tempat di Indonesia yang dulunya dianggap mahal, jauh dan susah , termasuk saya. Hahahah..

    Yup! Destinasi travelling itu emang mutlak pilihan dari si pelancong itu sendiri..Mau ke dalam negri atau luar negri..Tapi kalo saya pribadi, yang penting itu menyenangkan, bikin happy lah, nambah pengalaman n temen. Dimana ada waktu, duit, niat n mood, disitulah yang bakal saya jalanin 😀

    Buat CS, pernah daftar sih, 1 kata RIBET! Hahaha..tapi tertarik dengan konsepnya..Namun karena gak terlalu paham makanya gak menyelami terlalu dalam.

    Kalo di bilang Cinta sama Indonesia, ya Cinta! Secara ngeliatin blog-blog para traveller, majalah-majalah travelling online ngebahas kalo Indonesia itu super-duper keren! dan gue percaya..haha..emang keren..Cuma kalo dibilang gimana cara ngewujudin nya..jawaban gue…Belum bisa buktiin n wujudin 😀 Tapi semoga dengan nulis tentang perjalanan-perjalanan kita di Indonesia jadi bentuk apresiasi dan bukti cinta sama Indonesia kali ya 😀

    Overall..Catatan yang bagus 😀

    Semoga kedepannya pariwisata kita semakin baik kedepannya. Dan orang – orang yang sering mengeluh tentang Indonesia termasuk saya (kadang–kadang), bisa segera terobati.

    *cheers*

    • makasih choy..
      ini komen terpanjangmu ya disini..heheu..
      memang tanggung jawab kemajuan negara kita seharusnya dilaksanakan secara komunal, bukan menjadi beban pemerintah saja.
      seharusnya masyarakat juga memberikan sokongan.
      btw saya juga berharap, suatu waktu sarana dan prasarana itu akan dibuat lebih baik dan akses akan lebih mudah. sehingga mudah dijangkau.

      warm regards.

      • Hahaha..kalo yang terakhir iya tuh kayaknya..yang sering saya keluhkan dan kebanyakan orang keluhkan juga tentang sarana dan prasarana deh kayaknya..

        Entah itu akses kesananya, kondisi sarana & prasarana nya itu sendiri bagus apa gak, dll.

        Iya nih kayaknya “agak” panjang komentar saya ini..hohohoho..

        Abis kalo bahas orang-orang ‘atas’ itu agak suka sensitip…wkwkwkwkw..kuciwa-kuciwa gimana gitu ya..hahah!

        *cheers*

  5. Mas Chan 🙂 saya kayaknya termasuk yg ikutan diskusi di DRWB kapan hari, hehehe baru sempet baca tulisan sampean.
    menurut saya pribadi sih Mas Chan, saat ini pemerintah (dlm hal ini akhirnya mau ga mau merujuk ke Kemenparekraf) cuek dengan pariwisata indonesia (bukannya ga kerja), pemerintah kurang memberikan konsentrasi penuh kepada pariwisata
    indonesia di mata dunia internasional. contoh paling awam adalah kebetulan di rumah ada tv cable dan setiap saat melihat iklan dari negara lain seperti abudabi, australia, singapore, hongkong dan paling gencar malaysia. tp sekalipun belum pernah saya lihat dari
    indonesia kecuali by Garuda Indonesia. tp jujur memang dapat masukan juga dari Mas Zam “…ada semacam badan independen ang memang ngurusi wisata, mulai dari konsep, kampanye, hingga eksekusi dalam penyediaan infrastruktur…” >>> nah
    baru tahu nih, tp mengapa pemerintah ga mau bentuk juga kayak gini, kalo Singapore (yg alamnya terbatas) bisa hidup dengan pariwisatanya, lha harusnya indonesia bisa kaya karena pariwisata toh yah.
    jadi intinya sih, pemerintah bukan ga kerja buat dunia pariwisata indo terutama di dunia internasional, tetapi kurang fokus dan masih “meremehkan” potensi pariwisata Indonesia tercinta ini.

    • betul..saya memang sepakat dengan adanya badan yang mengurusi kepariwisataan tersebut.
      karena jika diurusi kemenparekraf akan sangat tumpang tindih.
      namun jika belum terbentuk, saat ini memang tanggung jawab bagi kemenparekraf mas.
      dan selayaknya mungkin kita sebagai insan pariwisata ikut mendukung kerja kemenparekraf tersebut.

      makasih sudah mampir mas. 🙂

  6. Ga tau kenapa ya, aku tuh pengen kerja bareng pemerintah. At least ngebikinin mereka brosur deh. Kalo ada divisi bikin brosur, aku mau ngelamar jadi timnya… Hahahaa.. suka ngga nahan kalo di pameran travel..
    Aku pribadi sih pengennya bisa ‘rokenrol’ bareng2, dalam hubungan dengan siapapun, instansi apapun dalam membangun industri pariwisata yang kreatif. Hehehe.. Bravo buat semua lah ya! 🙂

  7. “…jika pemuda-pemuda sebuah bangsa bersikap pesimis, maka tidak ada masa depan bagi bangsa tsb…”
    Tulisan yang bagus mas.
    *cuma numpang komen aja, nggak sanggup diskusi berat-berat. 🙂

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here